Saterdag 04 Mei 2013

Makalah Intermediate Training

-->
"Peran Partai Politik Islam Ditenga Politik Flotting Mas"
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam tulisannya Herbert Feith yang berjudul “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”, pemikiran politik modern diawali oleh munculnya nasionalisme  modern. Nasionalisme itu dimulai pada tahun 1900-an dan 1910-an, dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan intelektual muda yang memndang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yang akan datang. Mereka memandang masyarakat sebagai terbelakang, lemah, serta ditekan dan membicarakan kemungkinan untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan. Banyak diantara mereka khususnya yang belajar di luar negeri telah dipengaruhi oleh berbagai ideologi seperti sosialisme komunisme, reformfisme Islam, dan nasionalisme India, Cina dan Jepang. 
Dalam salah satu bagian penting dari tulisannya, Feith mengemukakan bahwa konflik politik sebagai konflik ideologi. Ada sebagian kelompok cendekiawan yang sedikit banyak tidak terikat dan tidak dipengaruhi oleh ideologi tersebut yang merupakan sumber dari pemikiran politik dalam masa ini, ada suatu kelompok penting lain yang terdiri dari orang-orang yang terikat sekali kepada partai-partai politik.  
Empat partai politik utama muncul menjulang tinggi pada pemilihan umum 1955, yaitu PNI yang merebut 22,3 % dari seluruh jumlah suara, partai reformis Islam, Masyumi yang merebut 20,9 %, partai Islam lebih tradisional, Nahdatul Ulama yang merebut 18,4 % serta partai komunis PKI yang merebut 16,4 %. PNI, NU, dan PKI masing-masing memperoleh lebih dari 85 % jumlah suara di pulau Jawa dan lebih dari 65 % di daerah pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebaliknya masyumi memperoleh 47,7 % dari jumlah suaranya di luar pulau Jawa yang berpenduduk tidak terlalu banyak dan hanaya 25,4 % di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di bawah demokrasi terpimpin klasifikasi tiga golongan ini (PNI, NU dan PKI) diberi status resmi dalam bentuk baru. Koalisi partai-partai pro pemerintah disebut NASAKOM yaitu singkatan dari Nasionalisme Agama dan Komunis.  Disisi lai masih ada partai besar Islam yang kontra terhadap pemerintah yaitu Masyumi. Hal ini ditandai dengan gerakan separatis yang dilakukan oleh Masyumi dalam membentuk pemerintah revolusioner Republik Indonesia dengan tokoh Masyumi Syarifuddin Prawiranegara Sebagai perdana menteri.
Dari gambaran singkat tersebut, pergolakan partai politik Islam terus terjadi di tengah kehidupan bangsa dan negara, yang melibatkan partai politik Islam maupun non-Islam. Lalu, bagaimanakah peran partai politik Islam yang ideal ditengah konteks perpolitikan Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan beberapa point penting yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah Partai Islam dan Sistem Politik Di Indonesia?
2.      Bagaimanakah Paradigma Islam Kontemporer?
3.      Bagaimanakah Peran Partai Islam Dalam Konteks Politik Flotting Mass?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui Partai Politik dan Sistem Politik Indonesia, Paradigma Politik Kontemporer serta Peran Partai Islam Dalam Konteks Politik Flotting Mass.

 BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum lebih jauh membicarakan tentang peran partai Islam dalam konteks politik Flotting Mass, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa poin penting berikut sebagai gambaran awal dalam membahas lebih lanjut tentang politik flotting mass.
A.    Partai  Islam dan Sistem Politik Di Indonesia
Persoalan politik Islam merupakan sebuah  istilah baru,   yang mana seringkali difahami sama dengan  istilah Islam Politik. Politik Islam lebih merujuk kepada  bentuk perjuangan mendapatkan  sumber-sumber  kekuasaan yang terbatas, dan menempatkan Islam sebagai  sebuah  driven. Artinya  dalam politik  Islam  lebih  difahami   sebagai perjuangan kelompok Islam untuk menjadikan Islam  sebagai sebuah  sistem  hidup terelaborasi dalam  masyarakat. Di mana  sangat  berlainan dengan  Islam  Politik  di  mana difahami  sebuah upaya untuk  menjadikan  Islam  sebagai sarana  memperoleh sumber kekuasaan yang terbatas. Dalam pandangan   ini,  Islam  politik  lebih  sebagai  bentuk politisasi Islam oleh sekelompok orang untuk mendapatkan akses  kekuasaan demi kelompok tersebut. Islam cenderung difahami sebagai komoditas politik, bukan sebagai tujuan politik. Dalam pandangan Qardhawy, Islam politik difahami sebagai  sebuah cara melumpuhkan Islam secara istilahan.
Upaya  ini menurut Qardhawy dianggap sebagai upaya untuk memparsialkan Islam  yang  syumul,  dan  dalam tataran tertentu malah akan menyudutkan Islam itu sendiri. Hal kedua yang menarik dari Politik Islam  adalah adanya sifat keberlangsungan dan perubahan  Islam  dalam mensikapi dinamika  politik  dalam  masyarakat.  Artinya bagaimana Islam  mempunyai kontribusi baik secara ide, landasan,  dan prospek dalam sebuah  masyarakat. Dari pemahaman ini, politik Islam sebagai usaha dari komunitas Islam   untuk  melakukan aktulisasi dan reaktualisasi terhadap   kondisi  zaman  dan  tempat   dalam kerangka pengeksistensian  nilai-nilai Islam.   Bentuk perjuangan ini pada akhirnya akan membicarakan apakah Islam  sebagai sebuah political-driven,  akan memberikan nuansa  yang menyenangkan  (rahmat)  atau  yang menakutkan  (phobia). Politik Islam  yang  membawa rahmat,  adalah  kemampuan akomodasi dan spill-over dari komunitas masyarakat  dalam membangun order dan harmoni. Sedangkan politik Islam yang membawa  phobia, adalah  bentuk  perjuangan  Islam  yang ditempatkan sebagai kelompok oposan yang menganggu  order dan  harmoni. Islam difahami sebagai  ancaman  potensial bagi regim dalam mempertahankan status-quo.
Pembicaraan  tentang politik Islam  di  Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, Partai Masyumi di  era 1950-an  merupakan format perjuangan politik  Islam  umat Indonesia, untuk menempatkan Islam sebagai rule of  game. Politik  Islam  Masyumi sangat tercermin  dalam  sikapnya untuk melakukan   redefinisi   terhadap   UUD,   dengan pemunculan   kembali  untuk mengangkat  Piagam   Jakarta sebagai  UUD  yang mengantikan UUD  1945 ketika  terjadi krisis   konstitusi.  Bahkan   sinyalemen   dibubarkannya Masyumi oleh regim Orde Lama, sebagai salah satu  akibat politik Islam Masyumi yang berusaha menggoyang status-quo regim.
Dalam  tataran yang lebih radikal  munculmnya Gerakan  Darul Islam, bisa kita kategorikan dalam politik Islam. Gerakan DI   seringkali   difahami  sebagai gerakan   untuk memperjuangkan konsep dan nilai Islam yang difahami telah tereduksi  perannya oleh sejarah. Reduksi  ini  dilakukan secara sengaja oleh regim, sehingga gerakan ini memformat Indonesia  baru dengan formula negara Islam. Akan  tetapi dalam  penjelasan lain, banyak analis politik  mengatakan gerakan Darul Islam dan variannya tidak lepas dari konsep Islam Politik. Artinya ketidaksetujuan    masyarakat    Islam Indonesia pada umumnya kepada gerakan Darul Islam sebagai bukti bahwa DI/TII lebih sebagai gerakan kelompok politik yang  kecewa  atas  pemerintah  pusat  yang  tidak  adil. Sebagai sarana menarik simpati dan memperteguh  militansi maka menggunakan konsep dan atribut Islam untuk  kekuatan bargain  dengan pemerintah. Dengan kondisi  seperti  ini, Darul Islam tak bisa dikategorikan sebagai bentuk politik Islam.
Politik  Islam yang sangat cermat dan  sistematis dalam  masa kini, terutama di penghujung masa  Orde  Baru adalah tampilnya  ICMI ke  permukaan panggung  politik. Tarikan ICMI dalam panggung politik nasonal sangat  kuat nuansanya sebagai  bentuk perjuangan  umat  Islam  untuk mendapatkan akses dari  negara.  ICMI  tampaknya   juga diformat  sebagai politik Islam yang santun dan  tidak mengancam  status-quo regim. Bahkan analis  lain  seperti Hefner lebih  melihat bahwa ICMI  lebih  sebagai  produk regim yang mulai mencari legitimasi baru dari umat  Islam yang mayoritas. Sementara orang  lain mensinyalir  bahwa   ICMI adalah  kekuatan Politik Islam dari kalangan cendikiawan Muslim  untuk mencoba  menawarkan  Islam  secara   lebih terlembaga tanpa  harus  melakukan  bentuk  oposisi  dan mempertentangkan dengan asas kenegaraan.
Dari  perspktif politik Islam, munculnya  partai  politik ini  juag  difahami sebagai  bentuk  perjuangan  kelompok Islam  untuk memantapkan nilai Islam. akan  tetapi  dalam pandangan  lain,  penggunaan asas Islam  bukanlah  bentuk politik  Islam,  malah bisa jadi sebagai  Islam  Politik, yang menempatkan  Islam sebagai   sarana   mendapatkan dukungan  dan  suara.  Islam  lebih  sebagai  alat massa daripada   sebagai  bentuk  perjuangan.  Hal  ini   lebih dipertegas   dengan kinerja  Partai  Islam  yang   tidak konsisten dengan akhlak Islam.

B.     Paradigma Partai Islam Kontemporer
Selama sepekan ini (25 April-2 Mei), publik Indonesia kedatangan Presiden Global Ethics Foundation Profesor Hans Kung. Teolog Katolik asal Swiss itu sudah lama dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan implementasi etika global demi terwujudnya tatanan dunia yang lebih baik dan adil. Itu pulalah yang menyemangatinya untuk menulis buku tentang Islam yang berjudul Islam: Past, Present and Future (2007). Ia ingin memahami dan menjajaki kemungkinan sumbangan Islam sebagai salah satu agama besar dunia bagi terwujudnya dialog dan kesepahaman antarumat beragama di dunia yang fana ini. Kung menelusuri faktor-faktor paling menentukan dalam sejarah perjalanan Islam. Penelusurannya itulah yang kemudian ia bingkai dengan menggunakan enam paradigma (PI-PVI) pokok pemahaman terhadap Islam.
PI adalah Islam sebagaimana yang di- tentukan coraknya oleh paradigma komunitas Islam perdana yang masih orisinal (original Islamic community). PII adalah Islam yang sangat ditentukan oleh paradigma Arab yang mendinastik. PIII ditentukan oleh kosmopolitanisme atau corak Islam klasik. PIV adalah paradigma ulama dan ordo sufi yang menjadi penentu hitam-putih Islam. PV adalah paradigma modernisasi. Dan semua paradigma itu sangat penting dipahami guna membantu pemahaman kita tentang ke mana arah paradigma Islam kontemporer (PVI).
Akan tetapi Pertarungan kubu Islam dan sekuler, hal ini bermula pada saat soekarno menulis tentang nasionalisme, islam, dan marxisme pada tahun 1926 sebagai tiga rumpun paradigma dan ideologi utama yang menaungi seluruh organisasi politik indonesia. Akan tetapi semuanya tidak akan berjalan sebagaimana yang di inginkan. Di bawah demokrasi terpimpin klasifikasi tiga golongan ini di beri status resmi dalam bentuk baru. Kolaisi partai-partai pendukung pemerintah  yang disebut Nasakom, sisi lain muncul partai-partai terlarang yang mengecam pemerintah yaitu Masyumi, dan partai sosialis indonesia (PSI).

C.    Peran Partai Islam Dalam Konteks Politik Flotting Mass
Pentas  partai politik dengan label  Islam  an-sich dalam sistem politik yang sekuler, ternyata  mendapatkan tanggapan yang cukup serius. Setidaknya terdapat beberapa catatan untuk ini: Pertama, di dalam umat Islam  terdapat bervariasi mazhab ibadah, muamallah, siyasah  (politik), di  mana  satu sama lain sulit diwadahi  secara  sempurna dalam   satu   wadah. Kalaupun  dipaksakan   maka akan melahirkan partai politik Islam yang semu.
Kedua,  sistem politik  sekuler  kurang dewasa  dalam merespon  partai politik  Islam.  Trauma masa lalu dan keterkakutan  pada Islam  (Islamo-phobia) menjadikan  sistem memperlakukan partai  politik   Islam  dengan  diskriminatif. Ketiga, ada kecenderungan tidak  matangnya partai politik Islam dalam merespon sistem politik  yang diskriminatif tersebut. Kekurangsabaran  untuk merespon sistem menjadikan partai Islam berubah  menjadi  gerakan kekerasan daripada gerakan  politik.  Sehingga  menjadi salah  satu sebab kurang disukainya bahkan diberangusnya partai politik Islam dalam panggung politik sekuler.
Sisi lain keterlibatan  umat  Islam dalam  urusan  kenegaraan dalam pandangan  Syaikhul Islam  Ibnu  Taimiyyah  adalah tugas rohani yang tak terpisahkan dari ibadah umat  Islam dalam  percaturan kenegaraan. Keterlibatnya akan  sangat menentukan  nasib  umat  Islam baik  bagi  kepentingan komunitas Islam  dan masyarakat pada  umumnya melalui penentuan  arah  kebijaksanaan negara  menuju  masyarakat "baldatun  thoyyibatun wa rabbun ghafur". Hujjatul Islam Al-Ghazali  juga menekankan pentingnya  partisipasi  umat Islam dalam amar ma'ruf nahi dari  umat  Islam  kepada masyarakatnya.  Ketidakpedulian umat Islam kepada urusan politik bangsa akan menjadikan salah satu sebab runtuhnya sebuah bangsa, sekaligus umat Islam itu sendiri.
Pandangan  kenegaraan Ibnu Taimiyah dan  Al-Ghazali ini   menempatkan dan   mengajak   umat   Islam   untuk berpartisipasi,  mengevaluasi  dan mengkritisi   praktek kenegaraan, sebagai bagian tak terpisahkan dari organisme kenegaraan. Pandangan ini dipertegas oleh Dr. Muh.  Kurdi dalam kitabnya Aqwaluna Wa Af'aluna dengan pernyataan "Wa hajatul umami ila as-siyasati kahaajatihaa ila al-mai  wa al-hawai (kebutuhan manusia/bangsa kepada politik seperti kebutuhan manusia kepada air dan udara). Hal ini kemudian mengilhami banyaknya  orang Islam untuk  terlibat  dalam kehidupan politik.
Dalam keadaan politik bangsan yang masih belum jelas (Flooting Mass) muncul partai-partai islam dengan membawa misi islam seperti Nahdatul Ulama, dimana kehadiran NU dalam kontek politik Flooting Mass telah memberikan nuanasa baru yaitu di tandai dengan Pemerintah mendirikan ratusan mesjid, menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw dan lainnya. Di samping NU, partai keadilan sejahtera juga tidak mau ketinggalan. Dalam keadaan yang sama PKS mencoba menetralisir kekecewaaan masyarakat terhadap prestasi parpol dan politisi. Performa PKS dalam melaksanakan cita –cita dakwah politik dan politik dakwah begitu memikat kaum ideologis-revivalis Islam. Kebanyakan kaum muslim kelas menengah yang mengalami “pubertas” nilai keislaman begitu terkesima dengan produk dan label keislaman yang ditampilkan PKS dalam berpolitik. Penulis memaknai “pubertas” dalam konteks ini adalah muslim yang sempat kehilangan orientasi keislaman dan menemukan kembali nilai Islam lewat inspirasi yang bersifat simbolik. Mereka kemudian banyak yang meyakini bahwa ini PKS akan meniscayakan bangkitnya kekuatan politik Islam di Indonesia pasca bubarnya Masyumi. PKS dalam mengelola dakwah yang berbasis politik masih cukup bisa diterima dikalangan semua elemen Islam di Indonesia, baik Islam Radikal maupun moderat. Hal ini Nampak dari barisan pengurus dan simpatisan kader PKS merepresentasikan unsure Muhammadiyah, NU, Majelis Mujahidin dll.
Perlu di tegaskan pula ada empat realitas yang perlu di sadari dalam melihat perjuangan partai-partai islam di indonesia. Pertama, partai politik adalah adalah gejala baru dalam sejarah hubungan islam dan kekuasaan. Kedua, kecuali pada masa-masa tertentu seperti pemilihan umum, pengaruh partai-partai islam, sebagai organisasi modern, terhadap orang banyak relatif terbatas. Ketiga partai Islam.

 BAB III
P E N U T U P

A.    Kesimpulan
Dari uraian bab pembahasan di atas maka penulis menarik beberapa kesimpulan:
1)      Eksistensi partai  islam dalam sistem politik di indonesia sebagai usaha dari komunitas Islam   untuk  melakukan aktulisasi dan reaktualisasi terhadap kondisi  zaman  dan  tempat   dalam kerangka pengeksistensian  nilai-nilai Islam.   Bentuk perjuangan ini pada akhirnya akan membicarakan apakah Islam  sebagai sebuah political-driven,  akan memberikan nuansa  yang menyenangkan  (rahmat)  atau  yang menakutkan  (phobia). Politik Islam yang  membawa rahmat,  adalah  kemampuan akomodasi dan spill-over dari komunitas masyarakat  dalam membangun order dan harmoni. Sedangkan politik Islam yang membawa  phobia, adalah  bentuk  perjuangan  Islam  yang ditempatkan sebagai kelompok oposan yang menganggu  order dan  harmoni.
2)      Paradigma partai islam kontemporer yaitu, PI adalah paradigma Islam perdana yang masih orisinal (original Islamic community). PII adalah Islam yang sangat ditentukan oleh paradigma Arab yang mendinastik. PIII ditentukan oleh kosmopolitanisme atau corak Islam klasik. PIV adalah paradigma ulama dan ordo sufi yang menjadi penentu hitam-putih Islam. PV adalah paradigma modernisasi.
3)      Peran partai islam dalam konteks politik flotting mass terlihat dengan banyaknya muncul partai islam dalam memainkan perannya. Diantaranya NU dalam kontek politik Flooting Mass telah memberikan nuanasa baru yaitu di tandai dengan Pemerintah mendirikan ratusan mesjid, menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw dan lainnya PKS mencoba menetralisir kekecewaaan masyarakat terhadap prestasi parpol dan politisi. Performa PKS dalam melaksanakan cita –cita dakwah politik dan politik dakwah begitu memikat kaum ideologis-revivalis Islam. Kebanyakan kaum muslim kelas menengah yang mengalami “pubertas” nilai keislaman begitu terkesima dengan produk dan label keislaman yang ditampilkan PKS dalam berpolitik.

B.     Saran dan Kritik
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh kerana itu saran dan kritik sangat di butuhkan dari teman-teman peserta Latihan Kader II, guna menambah kesempurnaan isi makalah ini.

























DAFTAR PUSTAKA

Ø  Siregar, Aminuddin “Pemikiran Politik Dan Perubahan Sosial” PT Akademika Pressindo Anggota Ikapi, 2007
Ø  Karim, M.Ruslin “Negara Dan Peminggiran Islam Politik” (Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970 dan 1980-an)
Ø  Prasetyo, Eko “Islam Kiri (Jalan Menuju Revolusi Sosial)” Insis Press, Yogyakarta, 2004
Ø  Subianto, Prabowo “Kembalikan Indonesiaku (Haluan Baru Keluar Dari Kemelut Bangsa)”
Ø  by.irvan.mawardi@gmail.com. Pemantau Pemilu dan Pilkada






























Pada akhir masa penjajah serta pergumulan masa kemerdekaan orang indonesia umumnya berpendapat bahwa ada tiga aliran politik. Pada tahun 1926, soekarno menulis tentang nasionalisme, islam dan marxis sebagi tiga rumpuh utama yang menaungi seluruh organisasi politik indonesia.

















SOAL UJIAN MIDLE TEST:

1.       Apa yang saudara ketahui tentang administrasi dan supervisi pendidikan? Dan kenapa proses administrasi dan supervisi tersebut perlu dilakukan dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan?  Jelaskan menurut pendapat saudara!
2.       Sebagaimana diketahui bahwa tujuan pendidikan nasional tidak dapat dicapai dengan efektif dan efisien, tanpa administrasi dan supervisi serta kepemimpinan yang baik dari para penyelenggara pendidikan. Untuk itu, sebutkan dan jelaskan secara singkat fungsi-fungsi pokok yang terdapat di dalam proses administrasi pendidikan tersebut?
3.       Ditinjau dari objek yang disupervisi, maka terdapat tiga macam bentuk supervisi yang menjadi sasaran dari kegiatan supervisi tersebut. Coba anda sebutkan dan jelaskan!















































































TAMBAHAN
Konstelasi Elit-Massa Islam
Tercapai  kepentingan  dalam  sebuah   perjuangan politik  negara  pada dasarnya sangat  tergantung  oleh kemampuan   memanage  potensi.  Umat   Islam sebenarnya memiliki  keunggulan komparatif baik dari sisi  historis, budaya, sosial dan politik baik secara kualitatif  maupun kuantitatif  untuk mendapatkan akses kekuasaan.  Hal  ini tidak   bisa   dipungkiri  bahwa   Islam   di   Indonesia seberapapun   lemahnya  lemahnya  aspirasi  Islam   dalam politik, pasti tetap diperhitungkan keberadaannya
Persoalan  yang mengedepan sekarang  ini  adalah ketika  posisi politik Islam  dalam  ambiguous-condition, antara maju kena dan mundur kena. Posisi yang mengambang menjadi  aktualisasi  antara Elit-Massa  tidak  seimbang, sistem Pemilu  yang  proporsional  tampaknya   mempunyai kontribusi besar dalam membuat pola ini.
Akan tetapi dalam masa pemilu dengan sistem  semi distrik  dan  proporsional,  tampaknya  umat  Islam  juga menghadapi  ambigu pilihan. Banyak partai yang  mengklaim sebagai  wakil aspirasi Islam, dan  dalam  aktualisasinya partai Islam  juga menunjukkan  variasinya  yang  sangat berarti. Sehingga  floating  mass sekarang  ini   lahir sebagai  bentuk adaptasi alamiah bukan rekayasa  struktur regim. Mengambangnya massa ini menjadikan hubungan  elit massa Islam juga mengalami friksi yang berarti.
Tampil dan duduknya pribadi Muslim dalam lembaga politik-kenegaraan  pada masa Orde Baru  tampaknya  masih sebagai bentuk “panorama keindahan”, tetapi belum kentara dalam menghasilkan aksentuasi kepentingan politik  Islam. Akan  tetapi  dalam masa reformasi tampaknya  ada  sebuah perubahan  besar,  bahwa  tampilnya  elit  politik  Islam dengan segala variasinya lebih sebagai bentuk  perjuangan kekuasaan  daripada  mempertahankan  kekuasaan.
Apalagi dalam  kompetisi Pemilu 1999 nanti, peranan elit  politik Islam lebih sebagai kemampuan riil politik Islam daripada sebagai bentuk keindahan politik. Hal  yang mengedepan pula dalam masa  Orde  Baru, mengapa persoalan ini terjadi adalah ketika para pemimpin kenegaraan adalah orang yang langsung terjun dalam  dunia politik   (masuk   ke partai  politik)   tidak   melalui organisasi   pengkaderan  yang membuat  mereka   menjadi populis  dengan kepentingan Politik Islam.
Ataupun  bisa jadi  lembaga  pengkaderan  mengalami degradasi   peran, hingga para pemimpin politis menjalankan peran politiknya hanya  mengikuti  bakat dan insting saja tetapi  membawa peran  tertentu.  Hal yang juga menarik tentang  kondisi ini, adalah munculnya elit yang langsung mengelit  karena ascribed-elite.
Keterputusan   hubungan   inilah    yang menyebabkan posisi hubungan elit-massa menjadi  timpang, dan  sangat riskan  Politik  Islam  akan  menjadi  Islam Politik  yang malah  akan merugikan  Politik  Islam  itu sendiri.
Akan  tetapi dalam masa reformasi ini,  tampilnya elit politik Islam dalam panggung politik lebih  dewasa. Terdapat aturan-aturan yang relatif ketat dalam  partai-partai  berbasis Islam dalam mengorbitkan  elit  politik tertentu. Di mana dengan kondisi ini pertarungan  politik yang ketat diharapkan akan mendapatkan elit politik  yang memadai,  yang  tidak hanya menjual  Islam  hanya  untuk memperoleh   keuntungan  sepihak.
Meski  tidak   menutup kemungkinan  pula bahwa terjadi lagi Islam Politik,  jika dikaitkan  dengan  kondisi  krisis ekonomi-politik  yang berkepanjangan     terdapat   kelompok-kelompok     yang memanfaatkan kondisi lemahnya ekonomi umat Islam.
Legitimasi Umat Terhadap Status-Quo
Berbicara  legitimasi  adalah  berbicara  tentang tingkat penerimaan  terhadap  sebuah  sistem  kekuasaan. Legitimasi juga  bisa difahami  sebagai  bentuk  kontrak sosial kepentingan.  Artinya  seberapa  jauh   pemenuhan kepentingan  didapat  oleh suatu komunitas  dan  seberapa jauh  dukungan yang harus diberikan kepada  suatu  sistem atau  regim. Dari peta ini, legitimasi di  sini  akhirnya berbicara  dukungan  secara penuh  (fully  support) atau dukungan secara parsial (partially support).
Dan  ketika berbicara ummat Islam dalam  khasanah pemikiran   politik  Islam,  tampaknya  secara   historis diketemukan  varian-varian  dari  umat  Islam.   Terdapat kondisi   bahwasannya  komunitas  Islam,  lebih   merujuk perpecahan   dibandingkan  dengan  kesatuan  fikrah   dan kepentingan.  Umat Islam di Indonesia dalam bahasan  ini, sebenarnya  tidak  tersatukan  dalam  satu  wadah.   Yang artinya sulit untuk menggeneralisasikan apakah umat Islam memberikan legitimasi atau tidak kepada suatu regim dalam sebuah masa.
Teramat  jelas,  jika umat  Islam  sebagai  basis legitimasi  regim Orde Lama dan Orde Baru,  harusnya  tak akan  ada  peminggiran posisi umat Islam.  Juga  tak  ada Islamo-phobia.   Artinya  umat  Islam  telah   memberikan kepercayaan  harusnya  regim juga memberikan reward yang berarti  bagi  umat  Islam. Ternyata  kondisi  ini  sulit bahkan tidak terjadi. Akan tetapi di sisi orang juga bisa menganalisis bahwasannya  Islam  memang  dijadikan   alat legitimasi pemerintah  dalam  saat  tertentu,  sekaligus regim mengingkari di saat lain.
Hal ini dilakukan  dengan melakukan  kooptasi  regim kepada  lembaga-lembaga  Islam tertentu  agar  memberikan dukungan, meski  harus  diakui bahwa  lembaga Islam tertentu tidak selalu bisa  mewakili umat   Islam   secara umum.  Tetapi   regim   senantiasa memberikan  propaganda bahwa regim  mendapatkan  dukungan dari umat Islam yang telah dipolitisir. Dalam tataran yang lebih praktis, legitimasi umat Islam    atas   status-quo,  merupakan   persoalan   fiqh aulawiyat (fiqh prioritas).
Dalam dekade 1990-an,  memang ada  persoalan  yang cukup pelik dalam  diri  umat  Islam  (kaitan  secara  umum). Di satu sisi umat  Islam  semakin terakomodasi  kepentingan maka  wajar  jika   memberikan legitimasi  status-quo,  akan tetapi  bercak  dan  percik masalah sosial-ekonomi dan politik ternyata  terakumulasi di umat Islam, artinya umat Islam memberikan upaya  anti-legitimasi. Meski kemudian persoalan yang sempat  mencuat tersebut tidak dikatakan tidak memenuhi representasi umat Islam.  Upaya ini sebagai katup, agar umat  Islam  jangan dipojokkan  atau dianggap tidak nasional kepada  republik ini.
Jika  kita  sepakat  bahwa  ini  merupakan   fiqh aulawiyat, maka yang harus difahami bersama adalah sebuah langkah   untuk  untuk  memberikan  prioritas  apa   yang seharusnya  diprioritaskan  berdasarkan  ukuran   hukuman Islam  yang benar dan didasarkan atas cahaya wahyu  serta akal,  dan “cahaya di atas cahaya” (An-Nur:35)[5]
Kondisi umat  Islam  di  akhir Orde  Baru  yang ditandai  dengan dekatnya   pemerintah   dengan  umat   Islam, tampaknya memberikan   pilihan  untuk  mendukung legitimasi   bagi Republik  ini.  Sebab jika tidak  maka kepentingan  umat Islam   akan  terganggu  ditengah  jalan. Akan   tetapi celakanya,  dukungan dan legitimasi umat Islam di  akhir 1997,  tampak  menjadi  bumerang  yang  sangat berarti. Hubungan  dekatnya  umat Islam dengan  regim, berseiring dengan runtuhnya regim Orde Baru itu sendiri.
Setidaknya  tarik-menarik  untuk  memberikan  dan tidak  memberikan  legitimasi  berdasarkan   pertimbangan berikut:
1) Dalam  banyak  hal  aspirasi umat  Islam  masih  tetap merupakan   main-stream  yang   diperhitungkan   untuk diagendakan.
2) Bentuk akomodatif-dinamis lebih menguntungkan daripada bentuk kontradiksi-oposisi, di mana harus diakui  umat Islam   masih   menduduki  posisi   mayoritas.   Salah bertindak sedikit maka akan menyebabkan pukulan  balik bagi umat Islam.[6]
3) Masih  belum  terselesaikannya  formulasi  kelembagaan aspirasi  umat  Islam, di mana tahapan  fiqh  ikhtilaf belum mencapai kematangan. Belum  adanya  kesepakatan secara tegas  antar  golongan  memungkinkan  wihdatul ummah sulit terwujud.
Tiga  pilihan  tersebut  tampaknya  pantas  untuk diajukan bagi umat Islam ketika berinteraksi dengan  regim-regim.
Nasib Umat Islam Indonesia
Pergumulan umat Islam selama ini berkutat  kepada persoalan  keterbelakangan dalam ekonomi, pendidikan  dan kesempatan.   Kesempatan  tampaknya  menjadi   hal   yang memungkinkan  pendidikan  bisa terangkat,  demikian  pula jika  kesempatan  terbuka maka  persoalan  ekonomi  dapat teratasi.
Hal  kedua  yang  cukup   signifikan   adalah persoalan redistribusi hasil pembangunan dari kepada umat Islam secara luas. Kesempatan dan re-distribusi merupakan sesuatu  yang harus diperjuangan. Dan  dengan  keberanian memberikan legitimasi,   dapat  dijadikan   kue   takar (bargain) untuk mendapatkan kesempatan dan redistribusi.
Faktor kesempatan, secara real-politic  merupakan sesuatu yang langka, yang harus dibina, dipupuk  sehingga mampu  teraktualkan dengan baik. Kesempatan  juga  sangat terkait  dengan persepsi masa lalu. Ganjalan  yang  cukup mengedepan  jika kita bicara kesempatan  adalah  persepsi terkadap  progresifitas Islam dalam  menata  kelembagaan. Gejala  Islam politik tampaknya masih memberikan  mental-barrier bagi negara untuk memberikan kepercayaan  secara penuh.
Sedangkan   persoalan  re-distribusi,   merupakan sesuatu  yang  bersifat pasif, dan akan  berubah  menjadi aktif manakala  terdapat  tekanan   yang   memungkinkan perhatian  tersendiri. Gejala akhir-akhir ini dengan  isu kesenjangan sosial dan ekonomi, yang kemudian  diaktorkan oleh  sebagian  besar  orang  Islam,  dari  awam   sampai terpelajar, dari radikal sampai moderat bahkan pragmatis, menjadikan center of problems from the state.
Umat  Islam setidaknya  dalam  batasan tertentu merasa  terkecewakan seberapun  kecilnya  dalam  hal  re-distribusi,  sehingga gejolak  menjadi  muncul.  Akan  tetapi kemampuan  untuk menjadikan gejolak tidak meledak memungkinkan sikap  dari pemerintah akan cenderung akomodatif bukan  konfrontatif. Yang  pada akhirnya akan menggiring akan pemenuhan  hajat dan aspirasi umat Islam.
Redistribusi akan semakin menjelas manakala dalam pasca  SU  MPR nanti mampu memberikan  patokan kebijakan baru yang memberikan kelonggaran baik secara kuantitatif seperti   terakomodasinya  kepentingan   keumatan dalam pendidikan,  ekonomi, sosial dan budaya. Dan kelonggaran kualitatif  adalah bentuk-bentuk perubahan persepsi  dari phobia menjadi apresiatif.
Sehingga   antara   manajemen   legitimasi   akan menentukan  nasib  umat Islam Indonesia.  KH.  Ali  Yafie akhir-akhir  malah  mengatakan seharus  pemerintah  sudah melangkah  jauh  untuk  melegitimasi  umat  Islam.
Jika keadaan  memang  sudah demikian,  akhirnya  akan  terjadi reciprocity-legitimation. Akan  tetapi  menjadi menarik  wacana  ini  jika dikaitkan  dengan era reformasi ini yang jauh  memberikan peluang  bagi umat Islam untuk mengformat Indonesia  Baru dan  Muslim  Baru Indonesia. Kesempatan jauh  lebih  luas bahkan  sangat ditentukan oleh umat Islam  sendiri.  Jika bisa  membangun dan memanfaatkan kesempatan dengan  baik, umat Islam malah menjadi faktor yang dominan, akan tetapi jika umat Islam terjebak dengan Islam politik lagi,  maka jelas ini sangat menganggu kesatuan umat Islam yang  amat dibutuhkan untuk memenangkan pembuatan rule of game yang lebih  adil dan berkemanusiaan dalam menyambut  Indonesia baru.





Walau Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, partai Islam belum pernah menjadi pemain utama di panggung politik, khususnya pada masa Orde Baru dan setelahnya. Saat pemilihan umum digelar pertama kali tahun 1955, partai-partai Islam menguasai hampir separuh suara, namun sejak itu perolehan suara partai Islam makin menurun. Sebenarnya sejak masa pra kemerdekaan, partai Islam sudah memainkan peran yang penting di Indonesia. Tahun 1909 Sariat Islam berdiri dan disusul oleh Partai Sarikat Dagang Indonesia yang dibentuk Haji Samanhudi di Solo. Sarikat Dagang Islam belakangan bukan saja mengurus isu ekonomi tapi juga terjun ke panggung politik dengan nama Sarikat Islam dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sejalan dengan perkembangan waktu, partai-partai Islam lainnya kemudian ikut menyusul. Namun sebenarnya partai-partai Islam memiliki aliran yang berbeda, seperti dijekaslan peneliti Lembaga Survey Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. "Dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah partai Islam dengan platform Pancasila namun mengandalkan basis Islam seperti PKB dan PABN. Yang kedua adalah partai Islam yang platform dan ideologinya Islam, antara lain PPP dan PKS," tuturnya. Penggabungan partai
Partai Persatuan Pembangunan, PPP, bisa disebut sebagai partai Islam tertua yang akan berlaga dalam Pemilu 2009. Di jaman Orde Baru, PPP merupakan satu-satunya kanal suara partai Islam sejalan dengan prinsip penyederhanaan partai yang ditempuh Presiden Suharto pada waktu itu.  Pada masa itu hanya ada 3 partai, yaitu PPP, dan 2 partai lain adalah Partai Demokrasi Indonesia , PDI, dan Golongan Karya, Golkar.
Namun tampaknya beberapa umat Islam tidak merasa terwakili oleh PPP dan sebagian memilih untuk tidak berpolitik atau memilih partai lain mengingat PPP tidak pernah meraih suara terbesar --terlepas dari pemilu yang saat itu belum berjalan secara jujur dan adil.  Dan pada masa inilah muncul semboyan yang dikeluarkan oleh salah seorang intelektual Islam alm. Dr. Nurcholis Madjid: Islam Yes Partai Islam No. Menurut Yudi Latif, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia, semboyan Nurcholis Madjid itu mempunyai implikasi tentang Islam. "Islam lebih diartikulasikan sebagai sebuah nilai yang terbuka, inklusif, toleran, yang tidak perlu membedakan Islam sebagai etik kehidupan," kata Yudi Latif. Namun paska kejatuhan Presiden Suharto, politik Indonesia lebih terbuka dan bermunculan partai-partai baru, termasuk partai yang secara terbuka memiliki platform Islam.
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik  biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Sedangkan Sistem Politik menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. Sisi lain Rusadi Kartaprawira mengatakan bahwa Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara (termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.

TAMBAHAN
Sebagai kelanjutan dari capaian politis ini, maka perhatian negara terhadap agama adalah sebuah proses dialogis yang melalui pasang surut dan pasang naik. Adanya Departemen Agama yang mengatur urusan haji dan pendidikan agama Islam yang menjangkau dari Ibtidaiyah sampai universitas Islam, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, penataan Bank Islam dan Badan Amil Zakat, penetapan pemberlakuan syariat di Aceh melalui UU. No.18/2001, serta penerapan syariah di daerah lain berdasarkan Perda.Fakta politis menjelang akhir kejatuhan Orde Baru, umat Islam yang semula termarjinalisasi mulai mendapat perhatian. Kesan “ijo royoroyo” di parlemen dan terutama adalah pembentukan ICMI dengan ketuanya B.J. Habibie menandakan politik mendekat ke umat mulai
dijalankan. Terlihat mobilitas vertikal kaum Muslimin dalam birokrasi, seiring dengan tingkat pendidikan mereka, yang merupakan buah dari gerakan kultural Islam. Namun mobilitas vertikal SDM umat untuk ikut serta menentukan isi dan arah pembangunan kerap dipandang oleh sebagian komponen bangsa lain bukan sebagai suatu kewajaran atau sebagai suatu keniscayaan secara politis, sosial dan ekonomis. Pasca reformasi, dengan kebebasan yang makin meluas, pendirian parpol yang lebih mudah memunculkan banyak partai berasaskan Islam, apalagi setelah Tap MPR tentang asas tunggal Pancasila dicabut.
Penemuan kembali ideologi yang sudah mapan, maupun elemen-elemen ideologi dari butir-butir Pancasila terjadi, termasuk secara nyata muncul partai-partai Islam. Berdasarkan hasil pemilu demokratis di era reformasi memperlihatkan suara umat Islam secara politis menurun dibandingkan hasil pemilu tahun 1955. Meski Islam politik memiliki kecenderungan meningkat untuk hasil pemilu 2004 dibandingkan dengan hasil Pemilu tahun 1999, namun kenyataan, bahwa mayoritas Islam Indonesia bersifat moderat dan kultural ketimbang politis nampaknya masih valid. Ini mungkin disebabkan, karena mayoritas, sekitar 75% dari masyarakat, Muslim Indonesia berafiliasi ke NU atau Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar yang menganggap NKRI dan Pancasila sudah final bagi umat Islam Indonesia.
Karenanya, dapat dipahami mengapa selama empat kali amandemen UUD-1945 di era reformasi, MPR tidak berkehendak untuk mengubah pembukaan UUD-1945.Ketiga adalah inti masalah sebenarnya. Berlatar belakang sejarah dan fakta serta kondisi kehidupan umat dalam berbangsa dan bernegara, terlihat bahwa penyelesaian atas krisis ideologis yang telah banyak memakan korban ini, nyatanya tidak bersifat permanen. Api nasionalisme yang meredup oleh pragmatisme, memunculkan separatisme dan radikalisme sebagai akibat ketimpangan pembangunan dan ideologis. Yang paling menyedihkan adalah menganggurnya energi umat dalam pembangunan bangsa dan negara. Umat Islam termarjinalisasi oleh trauma politis-idologis masa lalu. Islam yang secara kuantitatifnominal mayoritas belum representatif dalam aspek sosial-budaya dan sosial-politik. Fakta sejarah yang terpampang adalah mandulnya kebijakan pro-Islam di tingkat elit. Kebijakan pemerintah, baik era Soekarno maupun Soeharto, cenderung menyingkirkan peran Islam dari wilayah negara.Semestinya, apabila Islam adalah agama mayoritas, pastilah ia juga merupakan agama mayoritas budaya daerah. Apabila kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, seperti tertera dalam UUD 1945, maka semestinya semenjak berdirinya Republik ini, Islam menjadi paradigma pembentukan kebudayaan nasional. Kenyataannya, pemerintah mengabaikan fakta antropologis dan kultural yang sangat penting ini. Dalam Orde Baru, Islam tidak boleh memberikan warna untuk dirinya sendiri dengan leluasa, apalagi kepada yang lain. Yang dipromosikan adalah nasionalisme non- Islam, nasionalisme Gajahmada-majapahit yang mencontohkan persatuan dengan penaklukan kekerasan, bukan sejarah penyebaran Islam Nusantara yang dialogis, damai dan lebih moderen. Padahal, bangsa Indonesia menegakkan NKRI dilakukan dengan dialog dan jauh dari kekerasan-penaklukan sebagaimana model persatuan Majapahit tersebut. Proses sejarah yang melahirkan pengaruh Islam di kepulauan Nusantara seringkali direduksi menjadi sekedar ”sejarah Islam di Indonesia” dan bukannya ”sejarah Indonesia” itu sendiri.
Begitu lama dan luasnya pengaruh Islam di Nusantara, namun dalam kenyataannya tidak dipandang penting dalam konstruksi negara moderen Indonesia. Dalam buku sejarah resmi maupun tidak, Islam diposisikan secara marjinal tidak signifikan dalam bangun pembentukan negara-bangsa. Peran Islam dalam mempersatukan ikatan emosional, dan heroisme perjuangan mengusir kolonial, serta pembentukan wilayah kepulauan Nusantara menjadi Indonesia pun hendak diabaikan. Indonesia berhutang budi pada nasionalisme, nasionalisme sendiri dalam konteks Indonesia sebenarnya identik dengan Islam. Nasionalisme sekuler datang terlambat, karena 150 tahun sebelum kedatangannya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim, yang melahirkan proto-nasionalisme yang unik.Keempat adalah solusi yang mungkin diambil.Dalam rangka mencari solusi atas problem ideologis di atas, maka harus muncul kesadaran dasar dari seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam sendiri, bahwa masa depan demokrasi di Indonesia sangat ditentukan oleh faktor Islam. Hal itu hanya akan berhasil bila nilai demokrasi eksplisit diartikulasi secara kompatibel dalam doktrin Islam secara ideologis (Islam in Modern Indonesia, 2002). Maju-mundurnya pembangunan nasional Indonesia sangat ditentukan oleh sejauhmana peran umat Islam, karena Indonesia adalah bangsa Muslim, dimana sumberdaya budaya, sosial, politik dan ekonomi negara secara potensial berada dan melekat dalam tubuh umat Islam Indonesia. Energi bangsa Indonesia ada di dalam tubuh umat Islam. Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam bertanggung-jawab penuh terhadap kelangsungan NKRI yang dulu diperjuangkan dengan tetesan darah dan air mata. Kolaborasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang berlangsung berabad-abad telah meletakan dasar yang kukuh bagi sebuah bangunan keindonesiaan modern. Keislaman adalah faktor yang paling dominan dalam menopang identitas keindonesiaan. Itulah faktor keislaman Indonesia. Karenanya, memarjinalkan umat Islam
Indonesia, sama seperti membonsai kebesaran bangsa Indonesia itu sendiri.
Solusi permanen dari problem ideologis ini perlu diupayakan melalui suatu penyelesaian yang dewasa dan rasional. Arah inilah yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju negara yang stabil, yang berdasarkan penerimaaan komponen bangsanya secara rasional, obyektif, tulus dan menyeluruh. Bukan atas desakan represif dibawah moncong senjata atau berdasarkan marjinalisasi sumber daya energi umat yang sangat berlimpah, yang akhirnya hanya memunculkan Indonesia sebagai, negara yang lemah (the weak state) karena tidak didukung oleh mayoritas warganya.Bila yang diinginkan adalah umat Islam yang kuat dalam Negara Indonesia yang kuat, dimana umat Islam menjadi pelaku, yang menentukan arah dan isi jalannya negara, yang menjadi tulangpunggung negara dalam konteks Indonesia yang plural secara etnik dan agama, maka format perjuangan umat mestilah bersifat: Islami (damai dan non-kekerasan); rasional dan obyektif; kultural dan struktural, serta konstitusional. Dengan format perjuangan seperti di atas, maka arah perjuangan umat akan mengambil bentuk: Islamisasi secara struktural dan kultural. Umat Islam Indonesia berhak melaksanakan Islamisasi kehidupan baik secara struktural maupun kultural—dalam maknanya yang positif dan obyektif. Karena agama berpengaruh pada manusia—secara individual maupun kolektif—yang kemudian pada gilirannya memberi pengaruh kepada publik dan lingkungan. Islamisasi secara kultural dilakukan melalui berbagai media dakwah dan pranata budaya untuk menguatkan basis kebudayaan dan intelektualitas umat untuk mendorong mobilitas vertikal umat dalam berbagai lapangan baik birokrasi, ekonomi, budaya, intelektual, sosial maupun politik. Dengan ajaran moralitas Islam universal, maka akan tersedia basis moral yang tangguh yang selanjutnya akan menciptakan sistem ideologis dan politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Di samping itu,
islamisasi akan semakin cepat bila dilakukan dengan menggunakan kereta peradaban (Iptek). Basis kebudayaan akan menyebar bersama kemajuan peradaban material. Kecepatan penyebaran
basis material akan jauh lebih cepat daripada basis kebudayaan, karena penetrasi peradaban material akan merasuk jauh ke dalam kehidupan pragmatis manusia.
Islamisasi secara kultural seperti tersebut di atas juga mempunyai pijakan historiknya dalam konteks Indonesia, seperti hadirnya wayang, batik, maupun ragam budaya yang diwariskan oleh para Wali Songo. Ia adalah pengejawantahan kongkret dari Syumuliyyatul Islam dan risalahnya yang Rahmatan Lil Alamin. Karenya agenda ini tentu tidak dimaksudkan untuk menghadirkan konflik budaya apalagi pembenaran terhadap stigma Islam yang dihubungkan dengan ke-Arab-an maupun terorisme. Sementara itu Islamisasi secara struktural dilakukan melalui jalur politik. Islam memang tidak dapat dipisahkan dari politik sebagai bentuk dari pengamalan Syuro, serta Amar Ma’ruf Nahi Munkar, memperjuangkan keadilan dan pendakwahkan amal sholeh. Politik berguna untuk mendekatkan perjuangan kaum Muslimin dalam menjalankan kehidupan serta mendakwahkan kebudayaannya serta solusi-solusi kreatif yang dimilikinya agar mereka dapat mewujudkan nilai Islami itu sesudah pada tingkat kehidupan individual, keluarga lingkungan masyarakat, organisasi bahkan pada penyelenggaraan kehidupan bernegara. Baik melalui kegiatan Legislasi dengan menghadirkan undang-undang, peraturan pemerintah maupun kebijakan publik lainnya. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan Syariah atau negara sekuler yang menolak Syariah, tapi yang kita inginkan adalah negara Indonesia yang merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal, melalui perjuangan konstitusional dan demokratis agar dapat hadirlah Masyarakat Madani yang dicitakan itu.
Memisahkan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia dari keterlibatan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara adalah hal yang mustahil dan absurd bahkan ahistoric,bahkan tidak sesuai dengan prinsip dasar berdemokrasi konstitusional itu sendiri. Karenanya wajar saja bila pada masa awal pembentukan NKRI ini, Bung Karno telah dengan tegas mempersilahkan umat Islam untuk memperjuangkan ideologi dan aspirasinya melalui lembaga Parlemen. Dan umat pun memang telah dan akan terus secara rasional-objektif-konstitusional berjuang melalui jalur politik sehingga dapat turut serta
menghadirkan kemerdekaan Republik Indonesia, menggagalkan kudeta PKI yang akan menggantikan ideologi negara dengan Komunisme, dan kemudian turut menghadirkan era Reformasi dan lain-lain. Agar Masyarakat Madani dapat diwujudkan, dan karenanya umat pun dapat melaksanakan ajaran agama dan menghadirkan Syariah Islam yang Rahmatan Lil Alamin, sangat penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor utama yang dulu menjadi pilar kokoh dan telah sukses menghadirkan Masyarakat Madani seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang secara positif dan konstruktif menerima dan menghormati asas pluralitas baik karena faktor suku, agama, asal-usul maupun profesi untuk disinergikan bagi hadirnya masyarakat yang saling menghormati, saling menguatkan, gotong-royong dan bersatu padu bela kedaulatan negara, menegakkan hukum, menjunjung moralitas, menghadirkan masyarakat yang dinamis dalam Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah dan Ukhuwwah Basyariyyah, kemudian mengaktualisasikannya dalam konteks Keindonesiaan kontemporer.
Karenanya perjuangan Islamisasi secara struktural tetap harus menghadirkan sikap adil dan bijaksana terhadap non-Muslim maupun yang berbeda organisasi politik dengan PK Sejahtera, serta mengacu pada prinsip konstitusional, proporsional dan demokratis, agar hadirlah hasil perjuangan yang betul-betul dapat merealisasikan cita-cita berdirinya NKRI dan hadirnya era Reformasi.
Obyektifikasi Islam tidak menjadi kekuatan penentang disintegratif atau sebagai ideologi alternatif. Islam menjadi kekuatan integratif bangsa dan negara. Format perjuangan Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk Indonesia yang kuat, adil sejahtera dan bermartabat. Perjuangan utama umat adalah menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya perjuangan umat adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam dalam masyarakat dan bangsa Indonesia dalam rangka menebarkan rahmat bagi seluruh alam, menjadi guru bagi peradaban, yang dilakukan baik secara kultural maupun struktural.
Obyektifikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subyektif ke ranah publik-obyektif, dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik, Gambar 2-11. Secara subyektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun keinginan subyektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif), dan; resolusi konflik, agar konsep atau ide tadi memenuhi prinsip “keadilan publik”. Kebajikan universal Islam yang mampu menembus dimensi zaman, teritorial, generasi, dimensi kehidupan, sebagai rahmat bagi semesta alam akan menjadi ide atau konsep yang mudah diterima publik. Dalam titik ini, maka persoalannya bukan terletak pada debat mengenai siapa yang memerintah atau apa bentuk negara, tetapi pada soal bagaimana menegakkan nilai-nilai universal Islam di negeri Muslim terbesar ini. Dengan demikian, ide amar ma’ruf nahyi munkar secara obyektif dapat dirumuskan bukan sekadar upaya untuk memberantas judi, miras, prostitusi dan mengajak ke masjid, infaq, shadaqah, puasa, haji dan sebagainya, tetapi juga upaya memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani dan nelayan, menegakkan HAM, demokratisasi dan pembangunan ekonomi umat, mengurangi diskriminasi di hadapan hukum, melestarikan lingkungan hidup, membangun Iptek, dan seterusnya. Bila gerakan ini digelorakan, maka sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah kita membangkitkan energi dan ruh umat untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Pendekatan di atas, bila diringkas dan diasosiasikan dengan bentuk perjuangan awal Islam, maka akan serupa dengan konsep Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya. Ini adalah basis untuk masyarakat plural relijius dalam menjalankan agama juga memeliharanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, mengingat pluralitas keagamaan masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Bila ini adalah arah yang ingin kita tempuh, maka Islam politik akan bergerak pada rel yang tepat. Gerakan Islam politik yang kuat dalam sistem demokrasi, maka secara langsung akan mereduksi gerakan radikalisme Islam nonkonstitusional. Bila hal itu terwujud, maka stabilitas Indonesia secara politik dan keamanan semakin kokoh, energi umat akan tersalurkan secara positif, dan terjadi sinergi luar biasa di tubuh bangsa ini.















Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking