Ada common sense mengenai masa depan agama
dalam suatu masyarakat industrial, sebagaimana yang dicerminkan oleh percakapan
sehari-hari bahwa industrialisasi dan modernisasi merupakan ancaman terhadap
religiusitas. Meskipun penilaian itu sering disertai dengan banyak contoh
kasus, namun tidak berarti ia mengandung kebenaran yang bersifat menyeluruh.
Memang benar bahwa bentuk-bentuk perubahan sosial yang
menyertai proses industrialisasi telah memengaruhi secara negatif kehidupan
keagamaan, misalnya dalam masyarakat industri, peranan pengelompokan sekunder
semakin menggeser pengelompokkan primer. Adapun yang termasuk pengelompokkan
sekunder ialah unit dan organisasi kerja atau produksi, sedangkan kelompok
primer ialah keluarga, suku, agama, dan sebagainya. Sifat kelompok sekunder
adalah gesellschaft, sedangkan yang primer adalah gemeinschaft. Dengan
perkataan lain, formalitas, zaklijkheid dan rasionalitas semakin menggeser
keakraban, kekeluargaan, dan afektivitas. Karena itu melalui berbagai sebab,
peranan orangtua, khususnya ayah, sebagai agen sosialis anak, akan semakin
berkurang untuk digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang lain,
misalnya sekolah dan pergaulan. Hal ini tentu mempunyai pengaruh dalam bentuk
pengenduran pola-pola religiusitas tertentu.
Tetapi, pergeseran religiusitas dalam masyarakat
industrial terutama disebabkan oleh semakin dominannya peranan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan, baik sosial maupun lainnya, adalah bentuk
kesadaran seseorang tentang lingkungannya, baik yang jauh maupun yang dekat, serta
pengetahuan atau penguasaannya atas masalah-masalah yang ada. Hal itu berarti
paling tidak semakin sempitnya daerah kegaiban atau misteri, padahal tindakan
keagamaan dilakukan karena pengakuan adanya kenyataan supraempiris atau gaib
dan misteri.
Berkaitan dengan konsep kegaiban atau misteri itu
ialah perasaan tidak berdaya manusia menghadapi kenyataan-kenyataan yang
diperkirakan tidak akan mampu dimengerti. Pada masyarakat yang didominasi oleh
nilai-nilai ilmu pengetahuan, suatu terra incognita akan menyuguhkan tantangan
untuk diselidiki dan dibongkar rahasianya. Tetapi, pada masyarakat lain,
ketidakberdayaan manusia menghadapi alam telah melahirkan konsep dan tindakan
yang bersifat religius magis. Memuja suatu objek alam yang dianggap memiliki
rahasia dan keagungan dapat dilihat sebagai lompatan jauh seorang manusia dalam
usahanya menundukkan objek tersebut untuk kepentingan dirinya. Sedangkan jalan
yang wajar (bukan loncatan jauh) ialah meneliti, menyelidiki, dan mempelajari
objek tersebut.
Jadi, proses industrialisasi akan membawa serta akibat
menurunnya religio-magisme yang, untuk sebagian masyarakat, merupakan
religiusitas itu sendiri. Karena itu, bagi mereka ini, industrialisasi
memerosotkan religiusitas. Tetapi, bagi masyarakat lain, industrialisasi dan
modernisasi mungkin justru menopang dan meningkatkan religiusitas. Seperti
telah diungkapkan mengenai empat dimensi religiusitas, bahwa religiusitas yang
paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya intrinsik, atau cultural
consumatory, yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau iman sebagai
tujuan pada dirinya sendiri, yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai
intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak mengharapkan kegunaan di
luar imannya sendiri. Dimensi religiusitas inilah yang agaknya akan semakin
diperkuat oleh adanya pola-pola hubungan masyarakat industrial. Karena hal-hal
yang bernilai instrumental telah dengan melimpah disediakan oleh struktur dan
pola masyarakat industrial itu, maka agama menjadi semakin murni, dalam arti
bahwa keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai instrumental. (Contoh
sederhana ialah, karena “instrumen” untuk memberantas hama tanaman dalam suatu
masyarakat industrial telah disediakan oleh ilmu dan teknologi—misalnya dalam
bentuk insek-tisida—maka orang akan semakin berkurang mendekati Tuhan—misalnya
dalam bentuk doa—dengan tujuan agar tanamannya di sawah tidak terkena hama; ia
mungkin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural instrumental ke
cultural consumatory, di mana ia melihat ibadah sebagai tujuan pada dirinya
sendiri yang menjadi sumber kebahagiaan).
Religiusitas yang tidak terancam oleh proses
industrialisasi dan modernisasi, malahan memper-oleh dukungan dan pengukuhan,
merupakan religiusitas yang bebas dari magisme, yaitu naturalisasi
tindakan-tindakan manusia (physiomorphism of man). Tetapi syarat lainnya ialah
religiusitas itu harus bersandar kepada konsep wujud supraempiris yang tidak
akan bergeser menjadi empiris. Dengan perkataan lain, sumber kepercayaan dan
nilai keagamaannya harus dapat dijamin bahwa ia tidak akan dapat dimengerti
manusia dan diketahui rahasia-rahasianya.
Apakah ada kenyataan serupa itu? Seorang penganut
falsafah materialisme (komunisme) akan mengatakan tidak. Sebab dengan
kecerdasannya manusia, menurut falsafah itu, selalu mempunyai potensi untuk
memahami dan membuka kenyataan apa saja dalam alam raya ini. Suatu objek yang
dahulu dianggap agung dan penuh misteri atau kegaiban sehingga patut dipuja,
misalnya matahari, kini sudah semakin dipahami manusia dan terbuka
rahasia-rahasianya. Matahari telah berhenti sebagai kenyataan supraempiris, dan
hanya menjadi objek empiris biasa, sehingga tidak pantas lagi manusia
menyembahnya. Maka, bagi seseorang yang religiusitasnya berkaitan dengan konsep
kegaiban matahari, proses industrialisasi dan modernisasi benar-benar telah
menghapuskan sama sekali religiusitas itu.
Teori komunis itu masih harus ditunggu bukti
kebenarannya sampai dengan lengkapnya pengalaman manusia dan pengetahuannya
yang meliputi segala wujud di jagat raya ini. Tetapi, di sinilah letak
paradoksnya: justru suatu kenyataan disebut supraempiris karena ia tidak
mungkin dibuktikan ada-tidaknya melalui prosedur dan norma empiris. Manifestasi
tunggal adanya kenyataan supraempiris itu hanya dirasakan oleh mereka yang
meyakini dan menerima dengan sungguh-sungguh ajaran tentang adanya kenyataan
itu. Hal ini membawa kita ke ungkapan sederhana, namun mungkin sekali
mengandung kebenaran yang bersifat prinsipil, bahwa ada atau tidak adanya
religiusitas, baik di masyarakat industrial maupun lainnya, tergantung kepada
kegiatan penanaman iman oleh masyarakat bersangkutan, yaitu pendidikan
keagamaan pada umumnya.
Peran dan Fungsi Agama dalam Masyarakat
A. Peran Agama dalam Masyarakat
Mungkin tidak
semua dari kita sadar bahwa lingkungan kita semakin tidak nyaman, baik secara lahiriyah apalagi secara batiniyah, karena berbagai kerusakan yang muncul
dan terus bertambah seiring dengan perjalanan waktu. Kerusakan moral individu
dan kemudian bertransformasi menjadi kerusakan moral massal. Kita akrab dengan
berita kekerasan di berbagai institusi, mulai dari institusi non-formal seperti
keluarga sampai pada institusi formal seperti institusi pendidikan. Korupsi dan
tindakan koruptif juga mengakar dan mendarah daging baik di institusi
pemerintah maupun swasta. Pergaulan bebas menjadi kebanggaan, seks bebas menjadi kebiasaan, aborsi menjadi
hal yang normal, tindakan asusila menjadi susila dan perusakan lingkungan
menjadi lumrah. Padahal kita hidup dalam suatu negara yang diklaim sebagai
negara hukum dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, hidup dalam
masyarakat yang menglaim dirinya sebagai masyarakat bermoral, religius, beradab
dan klaim-klaim yang sangat menyejukkan hati dan menenteramkan jiwa bila
didengar. Apakah predikat-pridikat ini hanya sekedar “kulit” yang “membungkus”
masyarakat saja. Lalu di mana agama yang secara tertulis menjadi identitas
kita? Mengapa ia tidak berdaya mengendalikan segala kerusakan yang ada di
lingkungan masyarakat? Atau ajaran agama telah dimanipulasi untuk
menjustifikasi tindakan-tindakan destruktif?
Dalam hal ini, ada
empat kelompok manusia, yaitu pertama, orang
yang “lari” dari ajaran agama; kedua,
orang yang memahami agama dan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau
kelompok; ketiga, orang yang memahami
agama dan menjalankannya untuk memperoleh keshalihan individu; keempat, orang yang
memahami agama dan mentransformasikannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun
sosial bermasyarakat.
Pertama, orang yang “lari” dari
ajaran agama. Orang-orang seperti ini pada dasarnya tahu ajaran agama, namun
mereka merasa agama hanya mengekang kebebasan individu untuk berekspresi dan
tidak membawa keberuntungan. Orang-orang seperti ini pada umumnya tidak lagi
menggubris ajaran agama sehingga apabila teks-teks agama digunakan untuk
mengajak mengerjakan atau meninggalkan sesuatu tidak akan lagi mempan. Dan
bahkan mungkin mereka sudah tidak takut neraka dan tidak tertarik dengan surga
yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Mereka cenderung
mengutamakan akal dalam menimbang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dengan pertimbangan akal ini maka yang akan muncul adalah pemikiran pragmatis
yang hanya memandang keuntungan dan kerugian yang praktis dan cepat. Artinya
mereka mau melakukan atau meninggalkan sesuatu kalau hal itu akan mendatangkan
keuntungan. Lalu apakah menggunakan akal untuk mempertimbangkan sesuatu adalah
tindakan yang salah? Tidak. Menggunakan pertimbangan akal dalam memandang
setiap persoalan bukanlah suatu kesalahan. Bahkan menggunakan akal hukumnya
wajib bagi yang berakal. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauhmana manusia
dapat melepaskan akalnya dari lingkaran hawa nafsu ketika menggunakannya untuk
mempertimbangkan masalah? Harus diakui, akal mempunyai kecenderungan positif
dan negatif. Dan hanya sedikit orang yang mampu membersihkan akalnya dari
motif-motif negatif.
Kedua, kelompok yang memahami
agama dan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kelompok
ini tahu dan mengerti bahwa ajaran agama menunjukkan dan mengajak manusia pada
jalan kebenaran. Apabila pertunjukan itu dilaksanakan maka manusia akan dapat
menjalani hidup dengan penuh ketenangan dan ketenteraman, baik secara individu
maupun sosial.
Melihat kelompok
ini mungkin kita berfikir tentang kelemahan peran agama dalam melarang manusia
dari tindakan-tindakan negatif dan menggiring mereka kearah yang lebih baik.
Pada dasarnya bukanlah agama itu sendiri yang salah atau lemah, akan tetapi
mereka menyalahgunakan ajaran agama yang mereka pahami. Namun, sering
sebenarnya pemahaman agama mereka lemah dan salah sehingga tidak dapat
menjangkau apa sebenarnya dikehendaki oleh agama. Parahnya lagi mereka sering
tidak menyadari kelemahan itu dan dengan kepercayaan diri yang tinggi malah
menggunakan tameng agama untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh
agama dan mereduksi ajaran agama itu sendiri.
Kelompok ini
secara kasat mata pandai dan mengerti ajaran agama, namun tindakan mereka tidak
mencerminkan ajaran agama yang dia anut. Melakukan tindakan yang meresahkan
atau bahkan merugikan dan mendhalimi masyarakat . Meskipun demikian, ia masih
merasa benar dengan tindakannya itu dan menjustifikasinya dengan dalil-dalil
atau teks agama. Mereka mengingkari bahwa pada dasarnya agama sama sekali tidak
punya kepentingan dalam visi dan misinya dalam kehidupan makhluk di dunia ini
kecuali untuk membuat suatu tatanan demi kebaikan makhluk itu sendiri.
Ketiga, kelompok yang memahami
agama dan menjalankannya untuk memperoleh keshalihan individu. Banyak orang
yang memahami dan menjalankan agama, namun hanya untuk dirinya sendiri. Orang
seperti ini rajin dan konsisten (istiqomah)
menjalankan ibadah-ibadah mahdhah.
Akan tetapi orientasi ibadahnya hanya berorientasi pada keselamatan dirinya
sendiri tanpa mempedulikan orang lain dan lingkungannya. Secara individu orang
seperti ini memang cukup shalih, namun secara sosial ia belum pantas disebut
seorang yang shalih.
Keempat, orang yang memahami dan mengamalkan ajaran agama,
dan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Orang seperti
ini memahami agama sebagai perangkat untuk membentuk keshalihan pribadi dan
sekaligus untuk membentuk keshalihan sosial, demi terciptanya masyarakat yang
bermoral. Memang, keshalihan spiritual pribadi saja tidak cukup untuk
menciptakan masyarakat yang aman, nyaman, tenteram, adil menyenangkan.
Kashalihan pribadi harus ditransformasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam
bentuk ibadah-ibdah sosial. Sayangnya kelompok ini hanya sedikit di lingkungan
kita, sehingga kerusakan moral dan kerusakan lingkungan masih berkembang dan
bertambah seiring dengan perjalanan waktu.
Transformasi
ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan sebagai proses
refleksi memahami wahyu paling dalam, the depth
hermeneutics, yang harus berjalan secara dialogis untuk
menghasilkan aksi. Tujuan akhir dari transfomasi ajaran agama ini adalah
praksis-sosial ekonomi, sebuah perubahan nyata yang secara sosial ekonomi
terjadi pada masyarakat sehari-hari. Masalah kaum mustadh’afin,
soal minoritas, seharusnya dilihat sebagai bagian dari suatu konsep praktis.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa kerusakan yang masih terus berlangsung di sekitar kita
bukanlah “kegagalan” agama dalam membangun masyarakat yang bermoral. Namun yang
terjadi adalah kegagalan dalam memahami agama dan mentransformasikannya dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan
legal formal yang menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan
neraka, yang kesemuanya bersifat abstrak. Selain mengandung aturan legal
formal, agama mempunyai perangkat ideal moral yang pada dasarnya menjadi inti
ajaran agama. Untuk menciptakan masyarakat yang bermoral kedua komponen ini
harus diimplementasikan dalam kehidupan individu dan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memegang peranan
yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di tengah-tengah masyarakat
tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat
yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur
masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah mudah
untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang
ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama
memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar
masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku.
Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap memegang
peran yang penting, dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat tersebut akan
mengalami dekadensi moral dan kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup
yang lebih luas, yakni bangsa dan negara. Dan ini merupakan ciri dari akan
hancurnya dunia! Yah, kiamat sudah dekat jika agama telah hilang dari
sendi-sendi kehidupan.
Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal kultur
maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang
diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama
tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling relevan dengan sosial
kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga agar masyarakat tetap
konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai kemanusiaan yang
mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta dapat
saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah
awal yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani.
1. Nilai Spiritual
Setiap orang mempunyai kebutuhan fundamental sesuai
dengan fitrahnya yang meniliki jasmani dan rohani, dan apabila dikaitkan dengan
berbagai ragam hubungan manusia dalam kehidupannya, di setiap hubungan tersebut
ada hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan
manusia lain/masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Untuk memenuhi
kebutuhan rohaninya manusia melaksanakan nilai spiritual dalam kehidupannya.
Nilai spiritual memiliki hubungan dengan sesuatu yang
dianggap mempunyai kekuatan sakral suci dan agung. Karena itu termasuk nilai
kerohanian, yang terletak dalam hati (bukan arti fisik), hati batiniyah
mengatur psikis. Hati adalah hakekat spiritual batiniah, inspirasi, kreativitas
dan belas kasih. Mata dan telinga hati merasakan lebih dalam realitas-realitas
batiniah yang tersembunyi di balik dunia material yang kompleks. Itulah
pengetahuan spiritual. Pemahaman spiritual adalah cahaya Tuhan ke dalam hati,
bagaikan lampu yang membantu kita untuk melihat (Robert Frager 2002: 70).
Bila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai
spiritual merupakan nilai yang tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber
dari Tuhan Yang Maha Esa (Notonagoro, 1980). Dalam kehidupan sosial-budaya
keterikatan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau
kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu memiliki kekuatan yang melebihi
manusia, dalam pandangan orang beragama disebut sebagai Yang Maha Kuasa, Allah,
Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Dewa, Yang Maha Pencipta, dan sebagainya. Manusia
sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar dirinya, bahkan
memujanya untuk melindungi dirinya dan bila perlu rela mengorbankan apa saja
harta, jiwa/nyawa sebagai bukti kepatuhan dan ketundukan terhadap yang memiliki
kekuatan tersebut.
Begitu kuatnya keyakinan terhadap kekuatan spiritual
sehingga ia dianggapa sebagai kendali dalam memilih kehidupan yang baik dan
atau yang buruk. Bahkan menjadi penuntun bagi seseorang dalam melaksanakan
perilaku dan sifat dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Nilai Kemanusiaan
Dalam menjalani kehidupannya, manusia dihadapkan pada
berbagai macam permasalahan hidup yang merupakan hakekat dari kehidupan itu
sendiri. Selama manusia itu hidup maka permasalahan hidup ini tidak akan pernah
lepas dari kehidupannya.
Yang dimaksudkan dengan permasalahan hidup di sini adalah
segala sesuatu yang perlu diatasi ataupun suatu kebutuhan yang harus dipenuhi.
Berikut ini adalah beberapa permasalahan hidup manusia yang bersifat universal,
yaitu dimanapun manusia itu ada maka permasalahan hidup ini sksn selalu ada.
Bagaimana cara menusia itu mengatasi permasalahan tersebut, misalnya dengan
mengambil hikmah, atau upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
itu, akan menunjukkan kualitas dari diri manusia sebagai sisi nilai
kemanusiaanya.
2.1.Cinta Kasih
Cinta kasih merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan manusia. Setiap manusia/orang membutuhkan untuk mencintai dan
dicintai, sebagai kebutuhan yang fundamental. Apabila dikaitkan dengan berbagai
ragam hubungan manusia dalam kehidupannya, disetiap hubungan terdapat aspek
cinta. Ragam hubungan tersebut adalah antara manusia dengan Pencipta (Tuhan),
manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia dengan
dirinya sendiri.
Menurut Erich Fromm, ada empat syarat utama yang harus
dipenuhi untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
1.) Knowledge (pengenalan), dengan demikian yang bersangkutan akan
menerima sebagaimana adanya.
2.) Responsibility (tanggung jawab), yang mana masing-masing
pihak mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya.
3.) Care (pengasuhan, perhatian, perlindungan, saling peduli).
4.) Respect (saling menghormati).
Cinta kasih bisa dipahami dari beragam hubungan yang
dijalin oleh subjek-subjek yang mengadakan hubungan tersebut, yaitu:
Manusia dengan Sang Pencipta, disebut Agape. Bentuknya
berupa: pengabdian, pemujaan disertai kepasrahan.
Manusia dengan manusia lain, yang disebut:
1.) Philia, jika bentuknya cinta persaudaraan atau persahabatan;
2.) Eros, jika cintanya menyangkut aspek ragawi;
3.) Amor, dalam aspek psikologis dan emosional.
Manusia dengan alam sekitar/lingkungan.Bentuk cinta
kasihnya diwujudkan dengan menjaga/melestarikan lingkungan, dengan menciptakan
keserasian, keselarasan, keseimbangan dengan alam/lingkungan. Sehingga dapat
diupayakan suatu kehidupan yang menyengangkan, bahagia dan sentosa.
Untuk memperjelas uraian tentang cinta kasih, berikut ini
adalah bentuk-bentuk cinta kasih yang antara lain adalah:
1.) Cinta terhadap Tuhan
2.) Cinta Persaudaraan
3.) Cinta Keibuan
4.) Cinta Erotis
5.) Cinta Diri Sendiri.
Sedangkan untuk selanjutnya hanya akan dibahas mengenai
cinta terhadap Tuhan dan Cinta Persaudaraan.
2.1.1. Cinta Terhadap Tuhan
Manusia makhluk ciptaan Tuhan. Bagaimana perwujudan rasa
cinta ditujukan kepada Tuhan, sebenarnya telah dikemukakan dalam kitab suci
yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat religius. Salah satu bentuk yang
diajarkan adalah bagaimana kita menjalankan apa yang Tuhan perintahkan dan menjauhkan
apa yang dilarangNya, sebagaimana yang dimuat dalam kitab suci tersebut. Rasa
cinta manusia kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh
karena itu pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk ibadah kepadaNya dengan suatu
ikhtiar yang disertai kepasrahan merupakan inti dari kehidupan manusia. Mengapa
hal itu dikatakan demikian? Karena Tuhan adalah pencipta alam semesta, manusia
adalah bagian dari alam semesta yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
kekuasaan Tuhan.
Selain itu kehidupan dunia adalah tidak abadi.Untuk
mencapai kehidupan yang kekal di akhirat dengan bahagia, tentunya manusia harus
mempersiapkan dirinya dahulu di dunia. Sebagaimana telah dikemukakan diatas,
yaitu dengan menjalankan perintah Tuhan dan menjauhkan laranganNya. Salah satu
yang diperintahkan Tuhan adalah memberikan cinta kasih terhadap sesama manusia
termasuk dirinya sendiri dan juga terhadap alam semesta.
2.1.2. Cinta Persaudaraan
Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak dapat hidup
sendiri di dunia ini tanpa bantuan manusia atau makhluk lainnya. Selain itu,
manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan hidup alamiah yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan mendasar tersebut antara lain:
1.) Dorongan untuk mempertahankan hidup. Sebagai suatu
kekuatan biologi yang ada pada semua makhluk di dunia dan yang menyebabkan
mampu mempertahankan hidupnya di muka bumi.
2.) Dorongan seksual. Dorongan yang timbul pada tiap
individu normal tanpa pengaruh pengetahuan, dan sebagai landasan biologis yang
mendorong manusia untuk meneruskan keturunannya.
3.) Dorongan untuk usaha mencari makan. Dorongan ini
tidak perlu di pelajari, dan sejak bayipun manusia sudah menunjukkan dorongan
untuk mencari makan, yaitu dengan mencari susu ibunya atau botol susunya tanpa
dipengaruhi oleh pengetahuan.
4.) Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan
manusia lain. Sebagai landasan biologis dari kehidupan masyarakat manusia
sebagai makhluk kolektif.
5.) Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya.
Dorongan ini merupakan sumber dari adanya beraneka ragam kebudayaan manusia.
Dengan adanya dorongan ini, manusia mengembangkan adat yang memaksanya membuat
kesepakatan-kesepakatan dengan manusia di sekitarnya.
6.) Dorongan untuk berbakti. Dorongan ada dalam naluri
manusia karena manusia adalah makhluk yang hidupnya kolektif. Sehingga untuk
dapat hidup bersama dengan manusia lain secara serasi, ia perlu landasan
biologi untuk mengembangkan rasa altruistik, rasa simpati, rasa cinta dan
sebagainya, yang (mendukung) memungkinkannya hidup bersama tersebut. Kalau
dorongan ini diekstensikan dari dorongan untuk berbakti sesama manusia, kepada
kekuatan-kekuatan yang oleh perasaannya dianggap berada di luar kemampuan
dirinya, maka akan timbul religi/agama.
7.) Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk,
warna-warna, suara atau gerakan. Pada seorang bayi dorongan ini sudah tampak
pada gejala tertariknya seorang bayi kepada bentuk-bentuk dan warna-warna
tertentu. Dorongan naluri ini merupakan landasan dari suatu unsur penting dalam
kebudayaan manusia yaitu kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 109-111).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidak dapat dipenuhi
oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu ia membutuhkan orang lain untuk
memenuhinya. Artinya ia harus bekerjasama dan menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain. Bagaimana agar dapat bekerjasama dan terjalin hubungan yang
baik, tentunya harus ditumbuhkan sikap altruisme yang memperlihatkan rasa cinta
kasih antara sesama manusia yang saling membutuhkan itu, dan bukan sikap yang
sebaliknya.
2.2. Penderitaan dan Kegelisahan
2.2.1. Penderitaan
Ciri kehidupan di dunia ini ditandai oleh tawa dan tangis
yang mencerminkan keadaan yang fana. Pada suatu saat kita temukan kebahagiaan,
yang pada umumnya diungkapkan dengan tawa ria. Pada saat lain kita mengalami
penderitaan, kesakitan, kesusahan, yang biasanya diungkapkan dengan tangis.
Penderitaan merupakan pengalaman pahit yang tidak didambakan oleh setiap
manusia.
Hakikat penderitaan adalah:
1.) Dikotomis, yaitu kita melihat sesuatu sebagai dua
kutub yang berdekatan namun berlawanan, penderitaan dan kebahagiaan. Tidak ada
penderitaan kalau kita tidak mengenal kebahagiaan, dan sebaliknya.
2.) Universal namun unik/spesifik. Secara universal
setiap orang tahu/mengenal/merasakan arti penderitaan, namun secara spesifik
berat ringannya penderitaan dipersepsikan secara individual yang dipengaruhi
oleh latar belakang sosial budayanya.
3.) Kontradiktif, yaitu ditemukan pola menyimpang, yang
dirasakan aneh bagi orang lain. Pola tersebut antara lain, dalam penderitaan
badaniah terdapat suatu ’kebebasan’/kebahagiaan rohaniah, penderitaan seseorang
untuk kebahagiaan orang lain.
2.2.2. Kegelisahan
Kegelisahan adalah suatu rasa tidak tentram, tidak tenang
tidak sabar, rasa khawatir/cemas pada manusia. Jadi gelisah merupakan suatu
rasa negatif yang berkembang dalam diri manusia, yang bersifat
psikologis/kejiwaan. Kegelisahan merupakan gejala universal yang ada pada diri
manusia manapun. Namun kegelisahan hanya dapat diketahui dari gejala tingkah
laku atau gerak-gerik seseorang dalam situasi tertentu.
Kegelisahan menujukkan pada sesuatu yang negatif, tetapi
di sisi lain tetap mempunyai harapan. Sehingga antara kegelisahan dan harapan
seolah-olah merupakan saudara kembar. Muncul ketenangan apabila ada
keseimbangan antara kegelisahan dan harapan.
2.3. Otoritas Agama dan Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat modern ditandai dengan
menguatnya rasionalitas dan melemahnya peran agama. Sebelum perkembangan ilmu
pengetahuan seperti saat ini, agama menjadi pemandu manusia dalam mengatasi
kecemasan hidupnya di tengah “kekuatan alam”. Meskipun tidak memberikan suatu
tingkat solusi yang dapat dipertanggungjawabkan, namun agama dalam kehidupan
masyarakat senantiasa menjadi obat mujarab segala persoalan.
Dalam proses selanjutnya, perkembangan ilmu pengetahuan
menggeser peran agama tersebut. Ilmu pengetahuan dinilai sangat membantu
manusia dalam memecahkan misteri alam. Padahal di masa sebelum ilmu
pengetahuan, kekuatan alam seringkali menjadi sesuatu yang mencemaskan bagi
kehidupan manusia. Bahkan penyembahan terhadap alam dalam komunitas agama primitif
tidak bisa dilepas dari misteri kekuatan alam yang mencemaskan itu.
2.4. Peran Agama Menguat
Pasca berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di abad modern
ini, alam justru menjadi pelayan manusia. Bahkan terdapat kecenderungan
ekploitasi terhadap alam bagi kesejahteraan hidup manusia. Proses modernisasi
di sebuah negara, yang ditandai dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan
diramalkan akan mencabut peran agama dalam masyarakat.
Namun ramalan itu ternyata tidak sepenuhnya tepat. Hingga
kini kita masih melihat kecenderungan kuatnya peran agama dalam masyarakat.
Dalam masyarakat modern di kota-kota besar Indonesia, misalnya, menggambarkan
adanya kegairahan dalam beragama. Maraknya acara-acara keagamaan dan
bermunculannya tokoh-tokoh pendakwah muda menunjukkan adanya permintaan yang
sangat besar dari masyarakat kota terhadap otoritas agama. Dalam industri
televisi juga dapat dilihat dari begitu tingginya rating acara-acara yang
bernuansa agama. Dapat disimpulkan bahwa semakin modern sebuah masyarakat tidak
serta merta menggeser peran agama dalam kehidupan mereka.
Dalam hal-hal tertentu memang kita saksikan adanya
pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial yang dialami masyarakat
biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama. Mereka menjadi konsultan dari
persoalan publik hingga problem keluarga. Modernisasi kemudian menggeser peran
itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah terfragmentasi dalam lembaga-lembaga
khusus sesuai dengan keahlian dari pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam
batas-batas tertentu modernisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan memang
telah menggeser posisi agama. Namun itu tidak serta merta dapat dimaknai bahwa
agama akan kehilangan fungsi dan menghilang dengan sendirinya.
B. Fungsi Agama dalam Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memiliki fungsi yang
vital, yakni sebagai salah satu sumber hukum atau dijadikan sebagai norma.
Agama telah mengatur bagaimana gambaran kehidupan sosial yang ideal, yang
sesuai dengan fitrah manusia. Agama juga telah meberikan contoh yang konkret
mengenai kisah-kisah kehidupan sosio-kultural manusia pada masa silam, yang
dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi kehidupan bermasyarakat di masa
sekarang. Kita dapat mengambil hikmah dari dalamnya. Meskipun tidak ada
relevansinya dengan kehidupan masyarakat zaman sekarang sekalipun, setidaknya
itu dapat dijadikan pelajaran yang berharga, misalnya agar tidak terjadi
tragedi yang sama di masa yang akan datang.
Seperti yang kita semua ketahui, sekarang banyak
terdengar suara-suara miring mengenai Islam. Banyak orang kafir yang
memanfaatkan situasi ini untuk memojokkan umat Islam di seluruh dunia dengan
cara menyebarkan kebohongan-kebohongan. Menghembuskan fitnah yang deras ke
dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga membuat umat Islam itu sendiri merasa
tidak yakin dengan keimanannya sendiri.
Kasus terhangat baru-baru ini adalah mengenai pernikahan
antara seorang kyai berusia 40 tahunan yang dikenal sebagai Syeh Puji yang
menikahi gadis berusia 12 tahun! Dalam pandangan Islam, hal ini sah-sah saja.
Karena, Rasulullah SAW sendiri menikahi Aisyah RA saat Aisyah masih berumur 9
tahun! Tetapi bagaimana pandangan masyarakat umum saat ini tentang kasus
pernikahan ’unik’ ini? Banyak versi pendapat yang menghiasinya. Ada masyarakat
umum yang memandang peristiwa ini sebagai peristiwa yang menghebohkan.
Bagaimana ini bisa terjadi? Disinilah sebenarnya fungsi agama sebagai sumber
hukum yang utama dapat diterapkan. Kita boleh saja berbeda pandangan mengenai
peristiwa ini. Tetapi sekali lagi, agama lah yang harus kita jadikan rujukan.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Mubarrak, Zakky, 2008. MPKT Buku Ajar II: Manusia,
Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Penerbit FEUI
Kaelany, DR, 2009. Islam Agama Universal. Jakarta: Midada
Rahma Press
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking