Donderdag 14 April 2016

DESA DALAM PERTANYAAN BARU


 "SEBUAH REFLEKSI DALAM BUKU SOSIOLOGI DESA "REVOLUSI SENYAP DAN TARIAN KOMPLEKSITAS"
Oleh: Muhammad Saleh, S.Pd

Eksistensi desa yang dilihat secara sosio-geografis maupun sosio-psikologis, sebuah kenyataan yang menggambarkan keadaan desa yang dilihat dari berbagai aspek meski dalam pandangan yang umum dan kebayakan bahwa desa tidak lebih dari sebuah gambaran tempat yang di isi oleh sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM) tanpa memperhatikan secara mendalam dalam melihat esensi desa yang sesungguhnya. Sebuah penandan yang akan menempatkan desa sebagai entitas sosial dalam hal ini individu maupun masyarakat penghuni desa serta interaksi sosial dan kolektivitas yang ada didalamnya. Sisi lain desa menggambarkan status dan peran yang dimiliki oleh masyarakat dalam setiap keadaan sosial yang dijalani. Proses pemenuhan kebutuhan secara ekonomi melalui pemanfaatan SDA desa maupun keadaan-keadaan lain yang digambarakan oleh individu dan masyarakat desa dalam setiap situasi dan keadaan yang berbeda, hal ini akan menjadi penanda tentang eksistensi desa yang sesungguhnya serta penanda-penanda lainnya.

Namun modernitas yang terjadi disegala aspek kehidupan memungkinkan penanda desa mengalami pergeseran, hal ini dapat dilihat pada penggunaan teknologi oleh masyarakat desa dalam mengelolah potensi desa, sisi lain adalah kapitalisasi modal desa (manusia, sosial, budaya, finansial dan fisik) berpengaruh terhadap sosiogeografis desa. Akan tetapi masih ada sebagian desa yang masih mempertahankan penanda lokal desanya ditengah munculnya penanda non lokal, keadaan ini juga akan menempatkan desa pada labelitas tertentu dalam hal ini desa yang dilihat secara umum dan tradisional, desakota atau peri-urban dan Kota.
Perubahan besar yang dimulai pada awal era reformasi dengan desentralisasi sebagai sala satu tuntutan dan pembangunan tidak lagi bergerak dari atas kebawah melainkan juga bergerak dari bawah keatas. Masyarakat dan individu desa tidak hanya sebagai objek pembangunan melainkan juga subjek pembangunan. Oleh karena demikian pemekaran desa menjadi ciri dan bagian dalam peningkatan pemerataan pembangunan desa disamping tujuan lain yang bersifat politik dan keuangan. Pemekaran desa akan menjadikan desa semacam pusat atau muara dari perubahan-perubahan itu. Misalnya pemekaan propinsi diawali pemekaran kabupaten/kota, pemekaran kabupaten/kota diawali dengan pemekaran kecematan, dan pemekaran kecematan diawali dengan pemekaran desa/kelurahan. Kelurahan mekar melahirkan kelurahan baru, desa mekar melahirkan desa baru, sebagian desa berubah status menjadi kelurahan. Perubahan dalam bentuk pemekaran (propinsi, kabupaten/kota, desa) akan mengakibatkan perubahan pada bagian-bagian lainnya yang dilihat pada kegiatan yang telah melibatkan masyarakat kota pasca pemekaran. Semua ini berorientasi pada peningkatan interaksi antar masyarakat atau individu desa dan kota pada dimensi yang lebih luas berdasarkan tipologi desa.
Akan tetapi pertanyaan selanjutnya mengapa terjadi pergeseran dari desa ke kota (pertanian ke industri, subsistem ke komersialisasi, feodalisme ke kapitalisme dan otoritarian ke demokrasi) sehingga akibat-akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan terhadap potensi desa (SDA dan SDM). Hal ini terjadi oleh beberapa persoalan, pertama; melocatnya kapitalisme rasional ke libidinal, kedua; teknologi berkembang dari basis fisika atom menjadi fisika kuantum, ketiga; patria yakni tanah dan air dimana manusia merasai kehidupannya, serta patriotisme sebagai pemaknaan romantis dari rasa cinta kepada sang patria telah mengalami sejumlah tarikan dibalik loncatan perekonomian dan loncatan kamunikasi-informasi tersebut. Meski disadari bahwa perubahan tetaplah harus terjadi dan bersifat siklus dan berjangka (jangka pendek, jangka menengah & jangka panjang), menghindari perubahan sama halnya membiarkan perubahan menggilas dan meninggalkan kita yang bisa dilakukan hanyalah beradaptasi dengan perubahan itu.
Deferensiasi sebagai akibat dari globalisasi dan lokalisasi telah menggeserkan nasionalisasi desa hal ini akan berimplikasi pada proses peminggiran desa dan pada gilirannya akan mengabiktkan desa sebagai proletar yang dieksploitasi oleh borjuis. Sejak dua abad lalu para ahli telah mengajukan berbagai pertanyaan yang relevan dengan eksistensi desa. Kautsky (1899/1988) mengajukan Die Agrerfage (agrarian questions) dalam melihat eksistensi desa berhadapan dengan zamannya. Ia mempetanyakan apakah pertanian skala kecil unit rumah tangga di desa relevan dan masuk akal untuk digiring untuk pertanian skala besar unit perusahaan sebagaimana yang dikendaki kapitalisme ? disamping masyarakat desa di Indonesia masih bergerak dalam industri rumah tangga yang relatif dominan. Globalisasi dalam hal ini kapitalisme tidak lagi dilandasi oleh ekspansi rasional. Modal finansial diinvestassikan bukan lagi dalam kalkulasi untung-rugi memenuhi kebutuhan konsumen melainkan dilandasi oleh bekerjannya hasrat berupa hasrat terus produksi, distribusi dan konsumsi. Keadaan inilah yang disebut sebagai era kapitalisme lanjut (era hiperkapitalisme), era dimana korporat bekerja dalam perilaku menurut aturan mainnya sendiri.
Proses produsen dalam memproduksi barang, jasa dan informasi sudah melampaui rasionalitas ekspektasi profit, ia lebih kerana keniscayaan memenuhi libido membuat, memperbaiki, memperbaharui, yang selalu mendorong-dorong (hiperproduksi). Konsumen mengkonsumsi barang, jasa dan informasi di distribusi dan diperdagangkan antar lokal, pulau, Negara-bangsa, dan benua bukan lagi rasionalitas saling menutupi dan memenuhi. Globalisasi telah meloncatkan kapitalisme rasional ke kapitalisme libido, bila hal ini terjadi dan menimpa tubuh desa Indonesia kedepannya akan menjadi tantangan yang besar. Goncangan budaya (cultural lag) bisa diapstikan akan menimpa masyarakat dan individu desa. Oleh kerana demikian kesiapan SDA dan SDM harus diperhatikan oleh setiap pemimpin desa upaya meminimalisir dampak kemiskinan sebagai ketidakmampuan masyarakat desa mengisi ruang-ruang persaingan.Jika sebelumnya desa menjadi sentral produksi pangan dan pangan itu di konsumsi oleh manusia maka saat ini tujuan produksi pangan telah mempersaingan manusia.
Disamping itu masyarakat dan individu desa juga berhadapan dengan masalah lingkungan. Masyarakat desa yang bahan produksinya dari pertanian akan mengalami masalah tanah yang jenuh dan penuh dengan bahan pestisida, masyarakat desa yang bahan produksinya dari hasil olahan hutan dan kebuh dihadapkan dengan kegundulan bila di ekspolitasi secara besar-besaran. Banjir, tanah lonsong dan dampak-dampak lain yang ditimbulkannya ini akan berdampak buruk bagi masyarakat desa maupun lingkungan (desa) yang ada disekitanya. Belum lagi keadaan iklim yang tidak jelas. Apa lagi masyarakat dan individu desa yang hidupnya bergantung pada pertanian hanya bisa mengikuti ritme alam yang penuh resiko lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat kota yang penghidupannya bergantung pada produksi industri dan jasa.
Inilah jagad pertanyaan baru tentang desa, jagad desa dalam tipologi yang kompleks dengan pergeseran proposional yang dinamis, jagad desa dalam relasi dengan kota yang makin multi lapis, jagad desa dalam dealektika revolusi dan involusi pada sepanjang perjalanan evolusinya. Inilah keniscayaan tentang kesadaran akan kompleksitas dibalik asumsi kebenaran simplisitas yang dipegang selama ini.

 

SOSIOLOGI DESA “REVOLUSI SENYAP DAN TARIAN KOMPLEKSITAS



BUKU "SOSIOLOGI DESA “REVOLUSI SENYAP DAN TARIAN KOMPLEKSITAS”" 
 Pengarang: Prof. Dr. Darmawan Salman


PERBANDINGAN PARADIGMAN DALAM TIGA DESA


Paradigma
DESA
Persawahan
Dataran Tinggi
Pesisir
Liberal
Keterbukaan dalam menerima perubahan (inovasi) dari luar mengakibatkan beutuhan infrastruktur pedesaan dan kebutuhan dasarnya terpenuhi, meski menimbulkan jarak soial antara inidvidu dan golongan / inovasi pun mengatarkan desa Indonesia dalam perayaan swasembada beras
Inovasi yang bersumber dari masyarakat itu sendiri telah melahirkan revolusi hijau melaui tanaman pangan (kakao). dengan penanaman kakao telah melahirkan masyarakat yang kreatif serta inovatif di berbagai daerah di Indonesia terutama di Sulawesi.
Perpaduan antara inovasi yang datang diluar dengan kreatifitas yang dimiliki oleh masyarakat desa mengakibatkan terciptakanya peralatan modern dalam penangkatan ikan (revolusi biru) masyarakat pesisir
Marxis
Desa persawahan sebagai pusat prioritas pembangunan karena dekat dengan pusat melalui revolusi hijau dan penguasaan tanah kepada petani. Hal ini akan dapat mendorong revolusi sosial akibat benturan antara tuan tanah borjuis dan petani kecil proletar / sisi lain revolusi hijau melanda persawahan mengakibatkan munculnya kelompok komersil bahkan kapitalis dan kelompok yang berlahan sempit dan substantif terancam menjadi proletar.
Akumulasi & reakumulasi kapital desa melaui tanaman kakao / Penetrasi kapitalis menyebabkan kemiskinan di dataran tinggi dan kemiskinan itu menjelma karena Negara memberi Hak Pengelola Hutan (HPH) kepada pemodal dan rakyat sekitar hutan dilarang keras bermata pencaharian di dalamnya. Hal ini menimbulkan konflik laten dalam bentuk frustasi, kejengkelan, kecemburuan dan kebencian oleh satu pihak kepada pihak lain. Sebagiannya bersifat perlawanan (pembangkangan, pencurian dan pengrusakan) / pergeseran paradigma telah berlangsung dari hasil kayu ke non kayu
Drama akses terbukan dan kepemilikan bersama menggambarkan posisi ikatan patro-klien dengan ciri; pertama, sistem kebergantungan klien kepada patron melalui hutang kewajiban, kedua, pencapaian tujuan dengan perhitungan untung rugi meski tetap memperhatikan unsur rasa. Ketiga, kerja sama yang dibangun tidak hanya melahirkan pertukaran dalam bentuk uang dan barang namun juga bantuan tenaga dan dukungan kekuatan / sistem bagi hasil yang timpang karena legitimasi mekanisme hutang budi antara patron-klien
Post
srukturalis
Tekanan populasi (deret ukur) yang tidak diikuti oleh penyediaan sumber daya alam dan bahan makanan (deret hitung) akan mengakibatkan kemiskinan bagi masyarakat desa. Secara sederhana masyarakat desa mengantisipasi hal tersebut dengan membagi kue-kue ekonomi yang ada “kemiskinan berbagi”. (geertz, 1963) / Dibalik deferensiasi penguasaan tanah kesenjangan ekonomi makin nyata. perubahan sosial desa persawahan berada dalam persimpangan; antara stratifikasi dan polarisasi dan memungkinkan stratifikasi berbelok arah ke polarisasi
Persentuhan multipihak yang akan melahirkan federasi kelompok ditingkat kabupaten, kelembagaan dan koperasi sebagai wadah ekonomi melahirkan pemberdayaan masyarakat / kontribusi multi pihak telah berlangsung mulai dari pemerintah Kab. Hingga kementrian melaui LSM lokal dan Perguruan Tinggi dan jaringan LSM Internasional pada dunia civil society / lahirnya inovasi sosial dalam bentuk persentuhan antara keberdayaan masyarakat desa & multi pihak diluar desa dalam pengurusan hutan
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan peningkatan kualitas SDM masyarakat melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang kemudian melahirkan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3) disamping pengembangan model pemberdayan pasca pendamping yang diarahkan pada pengembangan jaringan usaha dengan kelompok lain (LSM, Swasta, Pemerintah) / program pemberdayaan masyarakat dengan tujuan pemeliharaan terumbu karang melaui COREMAP. Ditingkat desa dibentuk lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang (LPSTK) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)