"SEBUAH REFLEKSI DALAM BUKU SOSIOLOGI DESA "REVOLUSI SENYAP DAN TARIAN KOMPLEKSITAS"
Oleh: Muhammad Saleh, S.Pd
Eksistensi desa yang dilihat secara sosio-geografis maupun
sosio-psikologis, sebuah kenyataan yang menggambarkan keadaan desa yang dilihat
dari berbagai aspek meski dalam pandangan yang umum dan kebayakan bahwa desa
tidak lebih dari sebuah gambaran tempat yang di isi oleh sumber daya alam (SDA)
maupun sumber daya manusia (SDM) tanpa memperhatikan secara mendalam dalam
melihat esensi desa yang sesungguhnya. Sebuah penandan yang akan menempatkan
desa sebagai entitas sosial dalam hal ini individu maupun masyarakat penghuni
desa serta interaksi sosial dan kolektivitas yang ada didalamnya. Sisi lain
desa menggambarkan status dan peran yang dimiliki oleh masyarakat dalam setiap
keadaan sosial yang dijalani. Proses pemenuhan kebutuhan secara ekonomi melalui
pemanfaatan SDA desa maupun keadaan-keadaan lain yang digambarakan oleh
individu dan masyarakat desa dalam setiap situasi dan keadaan yang berbeda, hal
ini akan menjadi penanda tentang eksistensi desa yang sesungguhnya serta
penanda-penanda lainnya.
Namun modernitas yang terjadi disegala aspek kehidupan memungkinkan penanda
desa mengalami pergeseran, hal ini dapat dilihat pada penggunaan teknologi oleh
masyarakat desa dalam mengelolah potensi desa, sisi lain adalah kapitalisasi
modal desa (manusia, sosial, budaya, finansial dan fisik) berpengaruh terhadap
sosiogeografis desa. Akan tetapi masih ada sebagian desa yang masih
mempertahankan penanda lokal desanya ditengah munculnya penanda non lokal,
keadaan ini juga akan menempatkan desa pada labelitas tertentu dalam hal ini
desa yang dilihat secara umum dan tradisional, desakota atau peri-urban dan
Kota.
Perubahan besar yang dimulai pada awal era reformasi dengan desentralisasi
sebagai sala satu tuntutan dan pembangunan tidak lagi bergerak dari atas
kebawah melainkan juga bergerak dari bawah keatas. Masyarakat dan individu desa
tidak hanya sebagai objek pembangunan melainkan juga subjek pembangunan. Oleh
karena demikian pemekaran desa menjadi ciri dan bagian dalam peningkatan
pemerataan pembangunan desa disamping tujuan lain yang bersifat politik dan
keuangan. Pemekaran desa akan menjadikan desa semacam pusat atau muara dari
perubahan-perubahan itu. Misalnya pemekaan propinsi diawali pemekaran
kabupaten/kota, pemekaran kabupaten/kota diawali dengan pemekaran kecematan,
dan pemekaran kecematan diawali dengan pemekaran desa/kelurahan. Kelurahan
mekar melahirkan kelurahan baru, desa mekar melahirkan desa baru, sebagian desa
berubah status menjadi kelurahan. Perubahan dalam bentuk pemekaran (propinsi,
kabupaten/kota, desa) akan mengakibatkan perubahan pada bagian-bagian lainnya
yang dilihat pada kegiatan yang telah melibatkan masyarakat kota pasca
pemekaran. Semua ini berorientasi pada peningkatan interaksi antar masyarakat
atau individu desa dan kota pada dimensi yang lebih luas berdasarkan tipologi
desa.
Akan tetapi pertanyaan selanjutnya mengapa terjadi pergeseran dari desa ke
kota (pertanian ke industri, subsistem ke komersialisasi, feodalisme ke
kapitalisme dan otoritarian ke demokrasi) sehingga akibat-akibat yang
ditimbulkan adalah kerusakan terhadap potensi desa (SDA dan SDM). Hal ini
terjadi oleh beberapa persoalan, pertama;
melocatnya kapitalisme rasional ke libidinal, kedua; teknologi berkembang dari basis fisika atom menjadi fisika
kuantum, ketiga; patria yakni tanah
dan air dimana manusia merasai kehidupannya, serta patriotisme sebagai
pemaknaan romantis dari rasa cinta kepada sang patria telah mengalami sejumlah
tarikan dibalik loncatan perekonomian dan loncatan kamunikasi-informasi
tersebut. Meski disadari bahwa perubahan tetaplah harus terjadi dan bersifat
siklus dan berjangka (jangka pendek, jangka menengah & jangka panjang),
menghindari perubahan sama halnya membiarkan perubahan menggilas dan meninggalkan
kita yang bisa dilakukan hanyalah beradaptasi dengan perubahan itu.
Deferensiasi sebagai akibat dari globalisasi dan lokalisasi telah
menggeserkan nasionalisasi desa hal ini akan berimplikasi pada proses
peminggiran desa dan pada gilirannya akan mengabiktkan desa sebagai proletar
yang dieksploitasi oleh borjuis. Sejak dua abad lalu para ahli telah mengajukan
berbagai pertanyaan yang relevan dengan eksistensi desa. Kautsky (1899/1988)
mengajukan Die Agrerfage (agrarian questions)
dalam melihat eksistensi desa berhadapan dengan zamannya. Ia mempetanyakan
apakah pertanian skala kecil unit rumah tangga di desa relevan dan masuk akal
untuk digiring untuk pertanian skala besar unit perusahaan sebagaimana yang
dikendaki kapitalisme ? disamping masyarakat desa di Indonesia masih bergerak
dalam industri rumah tangga yang relatif dominan. Globalisasi dalam hal ini
kapitalisme tidak lagi dilandasi oleh ekspansi rasional. Modal finansial
diinvestassikan bukan lagi dalam kalkulasi untung-rugi memenuhi kebutuhan
konsumen melainkan dilandasi oleh bekerjannya hasrat berupa hasrat terus
produksi, distribusi dan konsumsi. Keadaan inilah yang disebut sebagai era
kapitalisme lanjut (era hiperkapitalisme), era dimana korporat bekerja dalam perilaku
menurut aturan mainnya sendiri.
Proses produsen dalam memproduksi barang, jasa dan informasi sudah
melampaui rasionalitas ekspektasi profit, ia lebih kerana keniscayaan memenuhi
libido membuat, memperbaiki, memperbaharui, yang selalu mendorong-dorong
(hiperproduksi). Konsumen mengkonsumsi barang, jasa dan informasi di distribusi
dan diperdagangkan antar lokal, pulau, Negara-bangsa, dan benua bukan lagi
rasionalitas saling menutupi dan memenuhi. Globalisasi telah meloncatkan
kapitalisme rasional ke kapitalisme libido, bila hal ini terjadi dan menimpa
tubuh desa Indonesia kedepannya akan menjadi tantangan yang besar. Goncangan
budaya (cultural lag) bisa diapstikan
akan menimpa masyarakat dan individu desa. Oleh kerana demikian kesiapan SDA
dan SDM harus diperhatikan oleh setiap pemimpin desa upaya meminimalisir dampak
kemiskinan sebagai ketidakmampuan masyarakat desa mengisi ruang-ruang
persaingan.Jika sebelumnya desa menjadi sentral produksi pangan dan pangan itu
di konsumsi oleh manusia maka saat ini tujuan produksi pangan telah
mempersaingan manusia.
Disamping itu masyarakat dan individu desa juga berhadapan dengan masalah
lingkungan. Masyarakat desa yang bahan produksinya dari pertanian akan
mengalami masalah tanah yang jenuh dan penuh dengan bahan pestisida, masyarakat
desa yang bahan produksinya dari hasil olahan hutan dan kebuh dihadapkan dengan
kegundulan bila di ekspolitasi secara besar-besaran. Banjir, tanah lonsong dan
dampak-dampak lain yang ditimbulkannya ini akan berdampak buruk bagi masyarakat
desa maupun lingkungan (desa) yang ada disekitanya. Belum lagi keadaan iklim
yang tidak jelas. Apa lagi masyarakat dan individu desa yang hidupnya
bergantung pada pertanian hanya bisa mengikuti ritme alam yang penuh resiko
lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat kota yang penghidupannya
bergantung pada produksi industri dan jasa.
Inilah jagad pertanyaan baru tentang desa, jagad desa dalam tipologi yang
kompleks dengan pergeseran proposional yang dinamis, jagad desa dalam relasi
dengan kota yang makin multi lapis, jagad desa dalam dealektika revolusi dan
involusi pada sepanjang perjalanan evolusinya. Inilah keniscayaan tentang
kesadaran akan kompleksitas dibalik asumsi kebenaran simplisitas yang dipegang
selama ini.